Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #15

Ayah Tak Sudi Menjengukku

“Kami menemukan bukti dari selimut dan baju bayi. Kami menyisir toko bayi di desa ini. Hanya ada satu toko perlengkapan bayi, di pertigaan dekat salon. Mereka bilang ada anak SMA yang membeli baju bayi di sana dua minggu sebelum peristiwa ini. Mereka masih ingat wajah si konsumen. Mereka masih ingat emblem yang tertera di baju seragamnya. Maka kami meminta sekolah untuk mengirimkan semua foto anak didik mereka kepada kami. Tapi nyatanya itu sangat sulit. Berungtung sekali ada seseorang yang melihat putri Bapak keluar malam-malam, sembari membawa cangkul. Menuju ke kebun bambu.”

Polisi itu menjelaskan panjang lebar. Tungkai kakiku lemas mendengar penjelasannya.

“Siapakah yang melihat putriku keluar malam-malam?”

“Kami tidak ingin mengungkapnya,” pungkas sang Polisi.

Aku tidak pernah tahu bahwa Aki Sarja, tetanggaku adalah orang pertama yang melaporkan kecurigaan itu kepada polisi. Aku tidak tahu bahwa di malam itu, Aki Sarjo tengah keluar untuk buang air. Dia punya kebiasaan buang air di kebun, dan dilihatnya aku tengah berlalu sembari membawa cangkul. Aki Sarja bertanya-tanya untuk urusan apa aku keluar pada waktu dini hari? Dan dia curiga ketika pagi setelah itu, warga gempar karena menemukan mayat di kebun bambu.

***

Malam hari setelah aku diinterogasi oleh polisi, aku dibawa ke rumah sakit untuk divisum. Ternyata aku tidak hanya ditanyai macam-macam oleh petugas polisi. Aku juga ditanyai macam-macam oleh petugas medis yang menanganiku. Mereka bertanya tentang kehamilanku, apa yang aku rasakan ketika hamil, bagaimana proses melahirkan yang aku alami, hingga mereka memutuskan untuk memeriksaku lebih jauh. Sama seperti petugas yang menanganiku di kantor polisi, mereka membaringkanku dan memasukan sesuatu ke selangkangan dan memeriksa ini dan itu.

Kabar tentang penahananku di kantor polisi menyebar bagai wabah penyakit yang tidak bisa dibendung lagi. Di hari kedua sejak penahananku, aku sempat melihat dua koran lokal yang terhampar di meja piket kantor polisi. Di sana terpampang judul besar di halaman muka. ‘Seorang Siswi SMA Tega Membuang Bayinya di Kebun Bambu.’

Aku tidak kaget dengan berita itu. Aku bisa menduga bahwa kebiadabanku akan diendus oleh lusinan media dan mereka menyiarkannya kepada masyarakat. Tidak cukup di koran, bahkan barangkali berita itu terpampang di televisi. Kemudian semua orang menyumpahiku sebagai seorang yang kejam dan berdarah dingin. Orang-orang satu negara mengetahui kebejatanku. Jutaan orang akan mencaci maki kebejatanku di kolom komentar media sosial, portal berita dan video youtube. Barangkali mereka akan berkomentar seperti ini:

‘Bagaimana mungkin seorang ibu tega membunuh bayinya sendiri.’

‘Bagaimana mungkin seorang ibu tega membuang bayinya. Bla…Bla…Bla…”

Selama tiga hari lamanya aku masih berada di kantor polisi, ditempatkan di dalam jeruji khusus sebelum keputusan hukuman yang pantas diberikan. Manusia-manusia berseragam itu sebenarnya sangat baik. Mereka tidak pernah memandangku dengan pandangan meremehkan. Mereka memberiku makan tiga kali dalam sehari selayaknya apa yang aku makan di rumah. Yah, meski makanan di penjara tidak seenak makanan yang dimasak oleh tangan Bunda.

Aku tidak habis pikir kenapa mereka tidak terlihat geram melihat makhluk hina seperti diriku? Ah, barangkali mereka sudah terbiasa melihat manusia-manusia biadab di setiap harinya. Mereka terbiasa bertemu dengan pencuri, pembunuh, pemerkosa, perambok dan semisalnya.

Lihat selengkapnya