“Aku terpaksa melakukannya,” ujarku lirih. Setelah itu aku menceritakan semuanya kepada Fina. Dari mulai kehamilanku, sikap Reza yang berubah setelah mengetahui aku hamil, aborsi yang gagal, bayi yang lahir dalam keadaan prematur dan meninggal hingga rencana yang telah aku susun. Semua aku ungkapkan kepada Fina dengan linangan air mata yang kembali membanjir.
Fina memperhatikanku dengan ekspresi yang sulit kutafsirkan. Tapi setelah aku selesai menceritakan semuanya, dia Nampak berkaca-kaca. Dia kemudian memelukku dengan erat. Ah, aku memang tidak salah memilih sahabat. Fina bukan seorang sahabat yang judgemental dan gampang menyalahkan. Dia tidak akan mudah percaya dengan semua omongan orang sampai dia benar-benar bisa membuktikannya sendiri. Dia tidak akan percaya dengan kabar burung sampai dia benar-benar menanyakan langsung kabar itu dari sumbernya. Karena Dia memang gadis yang dewasa.
Aku menangis di bahu Fina sementara tangannya mengusap punggungku dengan lembut. Setelah itu dia memegang bahuku dan menatapku dengan tatapan yang teduh. “Jadikan semua kepahitan ini sebagai pelajaran bahwa setiap tindakan selalu mengandung resiko. Setiap langkah yang kita ambil akan memperlihatkan kepada kita hasilnya di kemudian hari. Jika langkah yang diambil itu buruk, maka hasilnya pun tak jauh berbeda.”
Satu lagi tentang Fina yang belum sempat aku katakan kepadamu, dia cukup bijaksana jika diukur dari usianya. Mungkin dia lebih bijaksana dari guru-guru kami sekalipun. Aku hanya terpekur mendengar semua kata yang meluncur dari lidah Fina. Kata-kata itu memberiku harapan sekaligus ketakutan.
“Setiap lelaki itu tidak bisa dianggap memiliki komitmen dan ketulusan sampai dia benar-benar membuktikannya. Sebatang cokelat dan ciuman tidak bisa dianggap bukti ketulusan. Ketulusan itu bisa dibuktikan ketika dia tidak ingin merusak kehormatanmu, kemudian dia mendatangi ayahmu dan meminta dirimu baik-baik. Cowok semacam Reza ini hanya memanfaatkan dirimu. Tapi semua ini sudah terlanjur.”
“Bagaimana respon teman-teman dan guru tentang aku?”
Fina menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan prihatin. “Berita itu sudah menyebar. Bahkan kemarin wali kelas kita sudah memanggil ortu kamu ke sekolah. Ortu kamu belum ngasih tahu apa-apa sama kamu?”
Aku menggeleng lemah. “Aku tahu ini memiliki resiko yang sangat besar. Jika ortuku sudah dipanggil, paling-paling aku dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemarkan nama baik sekolah.”
Ada percik amarah di mata Fina. Dia mendengus sebal. “Jika kamu dikeluarkan, maka si bajingan Reza juga pantas untuk dikeluarkan. Ya, kamu memang salah, Ra. Aku tidak akan mengatakan kamu tidak salah hanya karena kamu adalah temanku. Salah tetap salah. Karena pertemanan yang sejati itu adalah ketika kamu bisa menunjukan kesalahan temanmu, bukan malah menutupi dan memaklumi kesalahannya dengan alasan dia sebagai teman. Kamu paham kan maksudku?”
Aku mengangguk. “Nggak usah sungkan, Fin. Aku memang butuh nasihat-nasihatmu.”
“Iya, maksudku, kamu memang salah. tapi si Reza ini kesalahannya berkali-kali lipat. Dia sudah merayumu sehingga kamu takluk. Dia kemudian menghamilimu. Setelah itu dia bebas melenggang tanpa merasa bersalah. Kadang aku berpikir kok ada ya lelaki yang bisa menyakiti wanita. Apakah mereka lupa bahwa mereka juga terlahir dari rahim seorang wanita? Bagaimana perasaan mereka jika ibu atau saudari mereka diperlakukan tak adil oleh lelaki lain?”
“Sudahlah, Fin. Aku sebenarnya sudah pasrah jika aku harus keluar dari sekolah. Mungkin nasibku memang begini.”
“Ini bukan masalah kamu rela atau tidak. Ini masalah keadilan. Ya, mungkin kamu rela jika kamu menerima konsekuensi dari kesalahan yang kamu perbuat. Tapi kamu juga harus menyadari bahwa orang-orang yang melakukan kesalahan yang sama atau bahkan lebih besar dari kesalahan dirimu harus mendapatkan hukum yang setimpal. Itu adil namanya.”
Oke, lama-lama aku seperti mendengar seorang filsuf sedang berceramah di hadapanku. Atau jangan-jangan Fina sedang kesurupan arwah plato atau aristoteles.