Aku dikeluarkan dari sekolah lewat surat yang dilayangkan oleh kepala sekolah kepada orangtuaku. Orangtuaku hanya pasrah dan tidak ingin memperpanjang urusan. Karena itu sama saja membuang-buang waktu dan energi. Percuma. Jika melihat kasus-kasus sebelumnya dimana ada gadis sekolah yang hamil langsung dikeluarkan dari sekolah, maka kasusku lebih berat. Sudah hamil, membuang bayi pula.
Tapi aku kini ikhlas untuk menerima konsekuensi tersebut. Yang harus aku lakukan sekarang adalah belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah aku perbuat dan menata sisa hidupku.
Pengadilan digelar beberapa hari setelah aku dikeluarkan dari sekolah. Pengadilan pidana tersebut memutuskan bahwa aku dijerat pasal pembuangan atau menyembunyikan mayat. Mereka menerima keteranganku bahwa bayi yang aku lahirkan sudah dalam keadaan mati. Sehingga aku tidak layak untuk dipidana dengan pasal pembunuhan bayi atau penelantaran bayi. Ada yang bilang, hukuman untuk menelantarkan bayi bisa sampai dipenjara 7 tahun lamanya.
“Barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”
Hakim pengadilan membaca keputusan pada pasal undang-undang, kemudian mengetuk palu.
Aku menghela napas lega. Mungkin Sembilan bulan bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan penjara bertahun-tahun. Setidaknya setelah Sembilan bulan aku bisa bebas dan melanjutkan kehidupanku sendiri. Meski setelah itu kehidupanku tidak lagi sama. Kelak, di dahiku seakan telah tercetak tulisan ‘mantan napi.’ Tak hanya itu, aku kelak harus menanggung stigma.
Setelah proses sidang pengadilan berlangsung, Bunda langsung menemuiku dan memelukku dengan erat. Beliau menangis tersedu-sedu. Anehnya, aku tidak mengeluarkan air mata setitik pun. Akhir-akhir ini, aku sudah mati rasa untuk urusan menangis atau mengasihani diri sendiri. Aku sudah kebal dengan semua kesedihan yang kulalui.
“Sudahlah, Bun. Hanya Sembilan bulan, kok,” hiburku pada Bunda.
Bunda melepaskan pelukannya dan mengusap kepalaku dengan cinta. “Setelah sembilan bulan ini, kamu bisa melanjutkan sekolah, sayang. Bagiamana pun juga, setelah Bunda tahu vonis hukuman kamu tidak sampai bertahun-tahun lamanya, Bunda berpikir untuk memperjuangkan kamu untuk tetap sekolah.”
“Maksud Bunda?”
“Bunda akan menggugat pihak sekolah untuk membatalkan keputusan mereka.”
Aku menggeleng kuat-kuat. “Sudahlah, bunda. Itu percuma. Nggak apa-apa aku keluar dari sekolah. Toh nanti aku bisa ikut program paket C.”
Beberapa hari setelah itu, Bunda dan ayah –juga Fina- mencoba menggugat Reza. Hanya saja pihak kepolisian meminta bukti berupa chat atau foto. Maka mau tak mau ayah dan bunda datang kepadaku dan bertanya perihal itu.
“Apakah kamu menyimpan foto kalian berdua?”