“Artinya nggak ada cara lain buat ngadepin si Riska selain dengan melawannya. Semakin kamu diam ketika disakiti, semakin orang merasa bernafsu untuk merendahkanmu. Maka tak ada alasan untuk tidak melawan. Setidaknya dengan melawan, harga dirimu bisa terselamatkan.” Bak seorang pendekar turun gunung yang mewanti-wanti muridnya tentang keberanian, Merlin sangat bersemangat untuk urusan lawan melawan ketidakadilan.
“Oke, nanti aku coba,” timpalku dengan nada yang tidak yakin. Ya, badanku memang besar dan lumayan subur, tapi itu tidak sebesar nyali dan keberanianku. Aku seringkali keok oleh pikiran buruk yang lebih dulu muncul di benakku. Sepanjang hidupku di dunia ini, aku tidak pernah main pukul dan mencakar orang lain sebagaimana adegan pertengkaran dan perkelahian yang sering aku lihat.
Kemudian aku membayangkan bagaimana jadinya jika aku adu pukul dengan Riska. Mampukah aku mengalahkan si gadis tomboy itu?
Merlin tidak berlama-lama menjengukku. Dia bilang dia ada urusan lain yang tidak boleh dia tinggalkan.
“Kamu sudah kerja?” tanyaku penasaran ketika dia bicara tentang ‘urusan yang tidak bisa dia tinggalkan itu’.
Dia menggeleng cepat. “Belum. Sampai sekarang pun gue masih nganggur. Mana ada perusahaan atau intansi mau menerima calon pegawai bekas napi. Beginilah nasib mantan napi, hidup mereka dipenuhi oleh stigma.”
“Kalau begitu, kamu tidak usah melamar kerja ke perusahaan atau instansi-instansi. Banyak jalan rezeki yang lain, kan, Merlin.”
Merlin tertawa. “Bacot memang gampang, Ra. Tapi kenyataannya, realisasinya itu yang susah. Makanya, jangan pernah barharap dari bacotan, tapi berharaplah dari tindakan, entah tindakan kita sendiri, atau tindakan orang lain.”
Aku ikut-ikutan tertawa meski aku tidak tahu apa yang lucu dan layak ditertawakan. Akan tetapi terkadang realitas kehidupan yang sulit itu seringkali sudah seperti joke yang layak untuk ditertawakan saking akrabnya dengan keseharian. Daripada menangis, lebih baik dijadikan bahan tertawaan. Tawa yang getir. Mungkin mulutmu tertawa, tapi hatimu menangis.
“Jadi, apa urusan yang nggak bisa kamu tinggalin itu, Merlin?”
Merlin menatapku lekat-lekat. “Aku nggak yakin kamu bakalan siap mendengarnya.”
Aku hanya melongo dan tidak tahu apa yang Merlin bicarakan. “Lho, ada apa sih?”
“Kamu benaran siap dengerin apa yang bakalan aku omongin?” Merlin seakan tidak yakin untuk menceritakan rahasianya kepadaku.
“Kalo mau ngomong, ngomong aja kali. Nggak usah pake rahasia-rahasiaan. Kita kan temen.”
“Aku nyanggupin permintaan Mami Selly buat bekeja sama dia. Aku jadi anak buah dia.”
“Lho, kenapa nggak dari tadi sih kamu bilang udah mau dapet kerjaan. Nah kan, apa aku bilang, kamu pasti bisa dapet kerjaan. Eh, omong-omong, kerjanya ngapain?”