Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #23

Saatnya Melawan

Kamar lapas kami kedatangan penghuni baru. Sumi namanya. Seorang perempuan yang kutaksir berumur 25 tahun dengan wajah yang tampak bersahaja tapi lumayan cantik. Dia datang dengan membawa anaknya yang masih balita. Kurang lebih berusia setahun setengah. Dia dipenjara karena ketahuan menjadi pengedar narkoba. Itu yang aku tahu dari obrolanku dengan Sumi beberapa hari setelah dia mendekam di dalam penjara.

“Aku terpaksa ngelakuin pekerjaan haram kayak gitu demi beli susu sama popok anakku. Kalo aku nggak kerja, gimana aku bisa ngasih makan anakku,” ujarnya dengan nada getir.

“Emangnya bapak dari anak-anak nggak mau ngasih nafkah?” tanyaku penasaran.

“Boro-boro ngasih nafkah. Justru aku yang ngasih nafkah dia, Ra. Kerjanya cuman duduk-duduk di warung kopi. Sepanjang hari main kartu gapleh sama mabok. Makanya aku sudah cape banget. Aku udah ngancam berkali-kali sama dia, kalo nggak berubah aku bakalan minta gugat cerai ke pengadilan. Eh, dia malah ngancem balik mau bunuh aku kalo aku berani gugat cerai.”

“Parasit banget sih suamimu, Mbak!” seruku dengan kemarahan yang tiba-tiba muncul. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku andai aku menjadi Sumi.

“Ya begitulah. Aku benar-benar terjepit karena kondisi ekonomi yang sulit. Pada saat itu, ada temen aku orang kota sebelah yang nawarin aku kerja. Kerjanya jadi pengedar narkoba ke pelanggan. Jenisnya sabu sama ganja. Tapi naas, baru bekerja dua bulan aktifitasku udah terendus sama polisi,” terang Sumi dengan wajah bermuram durja.

“Emangnya anak mbak Sumi nggak bisa dititipin sama keluarga?” tanyaku penasaran. Jelas aku sangat penasaran melihat kondisi Sumi yang harus membawa anak balitanya ke dalam sel.

“Aku disini merantau, Ra. Aku tidak mungkin menitipkan anakku ke rumah ortu di kampung. Mereka sampai sekarang pun tidak tahu aku dipenjara. Lebih baik begitu daripada mereka sakit hati karena tahu pekerjaan haram yang aku lakoni. Sementara suami nggak mungkin bisa diandalkan. Nggak ada jalan yang lebih bagus selain mengajak anakku ke sini. Lagian anakku masih menyusui.”

Pertama kali datang ke dalam sel kami, Sumi tidak membawa apa-apa selain beberapa lembar kain yang dia pakai untuk menggendong dan alas. Karena aku tidak tega, kuberikan kasur dan selimutku kepada Sumi.

“Pakailah selimutku, Mbak.”

“Tidak usah. Kamu juga butuh kan,” timpal Sumi.

“Sudah nggak apa-apa. Anak Mbak Sumi jauh lebih membutuhkan selimut dibanding aku.”

Malam itu aku tidur tanpa kasur dan selimut, tapi entah kenapa aku merasa bahagia demi melihat tidur anak Sumi yang begitu nyenyak. Aku pun mendekati Sumi yang tengah mengusap-usap paha anaknya dengan penuh kasih.

“Namanya siapa, Mbak?”

“Yuli.”

Lihat selengkapnya