Riska berteriak. Apakah itu teriakan putus asa, kesakitan atau marah? Aku tidak tahu teriakan apa tepatnya. Tapi yang jelas Riska berbalik menatapku dengan mata yang nyalang. Penuh amarah. Sementara di dahinya kulihat ada luka yang beberapa detik setelah itu berganti menjadi aliran darah kecil.
“Anjing lu ya!” dia serta merta menyeruduk ke arahku bak banteng yang diganggu oleh sang matador. Aku sudah siap-siap dengan kemungkinan ini. Aku berkelit untuk yang kedua kalinya, kemudian ekor mataku melihat ada segagang balok kayu di sudut. Sepertinya itu bekas kaki kursi yang patah. Aku meraihnya dan langsung mengangkatnya tinggi-tinggi. Kemudian aku menerjang dan menghajar Riska habis-habisan. Di dalam benakku berkelebat Riska yang mengencingiku ketika aku tidur sehingga aku terbangun dengan bau pesing. Di kepalaku terbayang Riska yang memalak uang yang diberikan Bunda kepadaku setelah dia tahu bahwa Bunda memberiku uang saat menjengukku. Di kepalaku berkelebat ketika Riska meludah ke piring bubur kacang ijo yang aku makan di pagi hari. Kelebat-kelebat itu menyisakan dendam yang kemudian terpercik oleh bara api kemarahan. Saat inilah pembalasan yang seharusnya. Balok kayu itu menghajar Riska habis-habisan sampai-sampai Riska berteriak meminta ampun.
Tidak hanya Riska yang berteriak, semua penghuni lapas berteriak, memintaku untuk menghentikan aksiku.
“Hentikan Ra! Ini bisa fatal!” Sumi yang sedari tadi hanya mematung kini ikut berteriak kepadaku.
Tapi api dendam itu masih menyala di kepala dan jantungku. Aku bisa mendengar degup jantungku semakin menjadi, kepalaku setengah pening dan telingaku berdenging. Aku melihat Riska yang berlumur darah.
Aku berhenti bukan karena aku telah puas melampiaskan dendam. Tapi aku berhenti karena tanganku sudah letih memukul. Tak berapa lama, dua sipir datang tergesa-gesa dengan makian-makian khas mereka.
Aku diseret dan diinterogasi. Semua teman-teman satu sel juga ditanyai. Aku membela diri. Kukatakan bahwa aku melakukan itu karena Riska sudah lusinan kali berbuat kurang ajar kepadaku.
Sipir itu agaknya memaklumi. Tapi tetap saja aku diisolasi di sebuah ruang yang sempit, lembab dan bau dalam satu minggu lamanya. Ransumku juga dikurangi.
Seorang sipir berkata kepadaku. “Sekali lagi kamu berbuat konyol seperti kemarin, kami tak segan-segan menambah hukumanmu menjadi satu tahun setengah!”
Lebih baik masa tahananku diperpanjang! Rutukku di dalam hati. Aku tidak mau pulang ke kampung dan berbaur dengan orang-orang yang akan menghakimi masa laluku sepanjang waktu.
***
Setelah peristiwa perkelahian di depan kamar mandi itu, Riska tidak lagi berani berbuat macam-macam kepadaku. Dia tahu diri bahwa aku bisa saja marah dan meledak tanpa pernah dia duga. Jika dia berani macam-macam, itu sama saja mengundang kemarahanku yang akan berwujud pada satu bogem mentah atau jambakan di rambutnya.
Tentang apa yang telah aku lakukan, aku ceritakan semuanya kepada Merlin di kunjungan keduanya. Dia tertawa terbahak-bahak ketika aku ceritakan apa yang telah terjadi antara diriku dan Riska di depan kamar mandi. Dia ikut merasa puas mendengarnya dan memujiku sebagai gadis pemberani.
“Begitu dong. Itu namanya seorang gadis sejati. Kamu harus melawan ketika ada orang lain yang menindas. Camkan kata-kataku.”