Dua bulan terasa lama untuk sebuah penantian bernama kebebasan. Akan tetapi lambat tapi pasti hari itu tiba juga. Hari yang aku nanti-nanti setelah sekian lama. Anehnya, ada rasa lega sekaligus takut. Lega karena aku telah terbebas dari hukuman yang harus aku jalani. Takut untuk meghadapi hari baru dimana aku akan mendapatkan penilaian dari tatapan orang-orang. Aku bisa membayangkan apa yang akan orang bicarakan tentang diriku yang baru keluar dari sel tahanan.
‘Lihatlah, Si Rara baru keluar dari penjara.’
‘Oh iya, dulu dia kan kena kasus karena membuang bayi ya.’
Pada akhirnya, semua orang akan mengingat kembali kejadian paling menggemparkan itu. Dan aku tidak siap untuk dikenang dan dibicarakan tentang siapa diriku di masa itu. Tapi mau apa lagi? Inilah kehidupan.
Di hari itu, aku dinyatakan bebas lewat surat keputusan di hadapan para sipir berseragam. Mereka mengundangku untuk datang ke kantor dimana mereka bekerja setiap hari. Kantor administrasi tepatnya. Disana aku melihat ayah dan Bunda sudah datang dengan mata berkaca. Mereka memelukku bergantian seakan aku telah terlahir kembali untuk yang kedua kalinya.
Di hari terakhir itu, aku harus berpisah dengan teman-teman satu sel. Diantara mereka memang ada yang akrab denganku. Hanya segelintir, tapi cukup memberikan kesan yang mendalam. Terutama Sumi dan anak balitanya.
Sembari membawa barang-barang pribadiku, aku memeluk diantara sahabat-sahabat satu sel itu sembari mendoakan supaya mereka bisa cepat keluar. Kecuali Riska tentu saja. Aku tidak pernah menganggapnya ada dan dia pun sebaliknya.
“Jangan lupa sama aku ya, Ra,” ujar Sumi dengan mata berkaca-kaca.
Aku memeluknya dengan lama. Setelah itu menciumi Yuli, anak balitanya yang sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Sungguh kasihan balita itu, harus menanggung penderitaan di dalam pengapnya penjara.
Hari masih pagi ketika Bunda dan ayah menggandengku keluar dari gedung kusam itu. Sepenggal kisah hidupku tertinggal di sana. Aku melihat mobil ayah terparkir di depan lapas. Tepatnya bukan mobil ayah. Tapi mobil paman Danu yang dipinjam ayah khusus untuk menjemputku.
“Bagaimana kalau kita rekreasi,” saran ayah. “Sebagai ungkapan rasa syukur karena Rara sudah bebas.”
“Aduh, jangan sekarang, Yah. Yang penting sekarang kita pulang dulu. Abis itu baru kita tentuin mau rekreasi kemana?”
Aku malas untuk pulang dan dilihat oleh para tetangga. “Langsung rekreasi juga nggak apa-apa, Yah. Aku setuju saran ayah.”
Bunda pun kalah suara. Dia memilih untuk mengikuti keinginanku dan keinginan ayah. Hari itu juga kami pergi ke pantai. Ada aura bahagia di wajah Bunda dan ayah, tapi tidak di wajahku. Ketika kami tengah berbaring di bawah pohon ketapang dengan selembar tikar pandan yang kami sewa, Bunda bertanya kepadaku tentang bagaimana perasaanku saat ini.
“Aku takut,” jawabku dengan mata berkaca.