Cermin itu menampakan tubuhku yang semampai yang dibalut dengan tank top berwarna merah dan rok mini yang menantang. Aku meringis melihat dandananku sendiri. Merlin yang membelikanku baju seperti ini. Dia kemarin bilang aku harus membeli banyak baju-baju seperti ini. Tapi kemarin baru membeli dua pasang. Merlin bilang, tidak apa-apa karena untuk sementara dia akan meminjamkan koleksi bajunya sebelum aku bisa menambah koleksi bajuku sendiri.
“Ini roknya nggak kekecilan?” tanyaku dengan nada ragu. Berkali-kali aku mencoba menarik ujung rok untuk bisa menutupi pahaku yang terekspos sempurna.
“Nggak kok,ini memang baju standar untuk orang macam kita. Memangnya lu maunya pake apa? Rok panjang? Yang ada entar disangka mau ke kondangan.” jawab Merlin dengan senyum penuh arti.
Aku hanya meringis. “Soalnya aku belum terbiasa memakai pakaian kayak gini. Wah, kalo ketahuan Bunda sama ayah, bisa diceramahi seharian.”
“Nggak usah khawatir. Lagian kan sekarang lo nggak tinggal sama ortu.”
“Tapi kayaknya aku lebih nyaman pake baju tertutup deh.”
“Sekalian aja lo pake hijab. Biar nanti para pria hidung belang nyangka lo ustadzah,” seru Merlin diiringi tawa. “Sudahlah, nanti juga kamu pasti terbiasa.”
Ya, mungkin aku akan terbiasa seiring dengan berjalannya waktu. Sebagaimana dahulu aku terbiasa menyembunyikan perutku yang perlahan menggelembung. Sebagaimana dahulu aku terbiasa hidup susah di dalam jeruji besi. Sekarang aku hanya perlu menerapkan kebiasaan baru dengan memakai pakaian-pakaian mini yang bahkan sulit dikatakan sebagai pakaian. Karena fungsi pakaian yang aku tahu adalah menutup tubuh. Bukan mengekspos tubuh.
“Mami Selly tadi nelpon. Katanya ada seorang pelanggan yang mau sama lo. Dia sudah nunggu di hotel Horison. Nanti gue antar ke sana,” terang Merlin panjang lebar. Sementara jantungku kembali berdebar tak karuan.
“Nanti aku kasih harga berapa?”
“Dia sudah transfer ke Mami Selly, nanti lo tinggal menerima bagian kamu dari Mami,” terang Merlin.
Maka jadilah hari pertama itu aku bertemu dengan pelanggan pertamaku di hotel yang dijanjikan. Merlin mengantarku ke hotel. Ia berusaha menenangkan diriku yang sedari awal selalu bilang kepadanya bahwa aku benar-benar dilanda kegelisahan yang tak berkesudahan.
Sampai di lobi hotel, seorang lelaki sudah menungguku, kemudian dia mengajakku untuk naik ke lantai tiga. “Kamar sudah saya pesan,” bisiknya dengan senyuman yang sulit aku artikan.
Aku bahkan tidak tahu siapa namanya, apa pekerjaannya, dimana lelaki itu tinggal. Dan lelaki itu tidak juga bertanya kepadaku siapa diriku dan pertanyaan tetek bengek lainnya. Dia tidak perlu mengenalku karena aku hanya sebuah ‘produk’ yang bisa dia nikmati layaknya sebotol bir. Aku juga tidak perlu mengenalnya karena dia hanya pelanggan sebagaimana penumpang angkot yang naik turun tanpa perlu tahu siapa nama sopirnya. Berapa plat nomornya. Para penumpang angkot hanya butuh diantar sampai tujuan. Karena aku memang pelacur, penyewaku tidak perlu tahu siapa namaku, bagaimana latar belakangku. Mereka hanya perlu diantar menuju puncak syahwat. Kenikmatan dibayar, habis perkara.
Malam itu aku telah menjadi budak dari nafsu seorang lelaki sekaligus barang dagangan yang tak lebih dari seonggok daging dan tulang yang menjadi produk transaksi. Aku bukan sebuah jiwa. Aku sebuah barang.
Malam itu aku menangis terisak. Ingatanku melayang, menembus angkasa. Disana tergambar wajah Bunda dan ayah. Aku meringis menahan sakit. Aku meringis menahan kengerian yang tiba-tiba datang dan begitu mencekam.
Sejak hari itu, aku mencoba untuk mematikan setiap getaran yang datang di kedalaman nuraniku sendiri. aku sudah tidak peduli lagi tentang monolog hati yang selalu melawan kehendak. Hari pertama itu aku melayani seorang lelaki. Akan tetapi, lambat laun aku merasa terobsesi. Bahkan rasa bersalah dan rasa sakit itu telah hilang. Di pekan kedua aku mampu melayani dua lelaki hidung belang. Bahkan di akhir pekan keempat, aku mampu melayani tujuh pria hidung belang dalam satu malam!
Merlin sampai-sampai bilang bahwa semua lelaki bisa mengantri. “Bahkan jangan-jangan lo bakalan mencuri rezeki kita-kita, nih.”