Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #31

Potret

Terkadang aku selalu memimpikan dinikahi seorang lelaki tampan dan baik hati. Dia menerimaku yang dahulu pernah hamil di luar nikah dan dipenjara karena membuang mayat bayinya sendiri. Dia menerimaku yang mantan seorang pelacur. Di mimpi itu, pria tampan itu berbisik di telingaku, “Apa pun dirimu di masa lalu, itu tidak mendefinisikan dirimu yang sekarang. Aku hanya menikahi dirimu yang sekarang, bukan menikah dengan dirimu di masa silam. Mari kita bersama melangkah menuju masa depan.” Aih sungguh indah mimpi itu. Sayangnya, hanya sebatas mimpi. Aku seorang pelacur. Dan semua lelaki di dunia ini akan merasa jijik jika harus menikah dengan pelacur. Sekalipun pelacur itu mau berhenti dan bertobat. Tetap saja dia bekas seorang pelacur. Kasus Merlin sebagai pengecualian, tentu saja.

Pun malam ini, aku kembali mengingat tentang mimpi itu. Kemudian aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengenyahkan semua khayalan indah itu dari benak kepalaku.

‘Gimana nanti saja. Kalo ada yang mau syukur, kalo nggak pun nggak apa-apa. Yang penting masih hidup dan bisa makan,’ bisikku menghibur diri sendiri.

‘Brak!!’

Ada suara benda jatuh dari arah kiriku. Reflek aku menolehkan kepala dan kudapati pigura yang membingkai potret ayah dan bunda jatuh dari nakas. Aku pun bangkit dari ranjang dan memungut pigura itu. Disana terpampang potret ayah, bunda dan aku diapit di tengah-tengah mereka. Tepatnya di atas pangkuan bunda. Tiba-tiba saja mataku memanas. Kudekap potret itu dengan erat. “Maafkan Rara, Bunda. Maafkan Rara sudah meninggalkan rumah tanpa pernah meminta izin kepada kalian berdua. Suatu saat, Rara akan pulang. Rara janji.”

Pulang? Aku memang sangat merindukan kedua orangtuaku sekaligus merindukan rumah dan kamarku sendiri. Aku juga merindukan masakan Bunda dan sapaannya di pagi hari. Aku merindukan teman terbaikku Fina. Omong-omong tentang Fina, bagaimana kabar dia sekarang? Terakhir kali bertemu dengannya adalah ketika dia menjengukku ke penjara sepuluh bulan yang lalu. Bahkan ketika aku keluar dari penjara pun dia belum bertemu denganku. Ketika aku pulang pun aku belum sempat bertemu dengannya.

Ah, aku jadi rindu untuk pulang. Tapi aku takut. Pulang memiliki konotasi kembali membuka kenangan. Aku tidak ingin kenangan buruk itu kembali mencengkeram.

***

Bagi Bu Darmawan, kesedihan adalah teman sehari-hari yang telah mencuri semua asa dan kebahagiaan yang mencoba ia tanam. Semua bencana bernama kesedihan itu bertunas dan berpucuk dari tragedi yang terjadi empat belas bulan silam. Dimana dia mendapati anak semata wayangnya menjadi seorang kriminal yang membuang darah daging yang dibuahi dari cinta yang haram.

Saat itu, hatinya hancur. Dia seorang Bunda yang selalu mendidik tentang moral, nilai-nilai dan kepatutan kepada anak didiknya. Kemudian anaknya sendiri telah menjadi ‘pengkhianat dari nilai moral itu sendiri.

Jika ingin menggambarkan bagaimana pedihnya, dia lebih memilih untuk lenyap dari muka bumi. Lebih-lebih ketika bisik-bisik penuh nyinyiran dari mulut para tetangga mengusik gendang telinganya.

‘Masa guru agama anaknya kayak gitu.’

Lihat selengkapnya