Kamu pelacur tapi kamu tetap shalat? Apa kau yakin Tuhan menerima ibadahmu? Kalau tidak salah ustadz pernah bilang shalat itu mencegah dari perbuatan keji. Tapi kenapa shalatmu tidak bisa mencegahmu melakukan perbuatan keji? Itu artinya shalatmu tidak diterima?
Aku tidak perlu heran jika dulu sahabatku, Merlin selalu menyindirku yang masih sok-sokan terlihat agamis, sementara pekerjaanku kotor dan hina dina. Jujur saja, aku tidak pernah meninggalkan shalat barang sekali pun, meski aku seorang pelacur. Meski aku tengah bergumul, ketika adzan berkumandang aku berusaha untuk berhenti dari aktifitas itu demi menghormati kalimat-kalimat suci yang terlantun dari toa masjid. Aku tidak ingin ketika suara itu menelisik masuk ke dalam telinga, di saat yang bersamaan aku tengah melakukan hal nista.
Seperti hari ini, seorang pelanggan yang sudah keempat kalinya datang itu mengajakku untuk bermain di sebuah hostel murah di pinggiran kota. Aku bisa memaklumi kenapa dia lebih memilih mencari penginapan paling murah, karena dia lelaki miskin. Tapi aku tidak peduli. Selama dia bisa membayar tubuhku dengan layak, aku bisa melayaninya.
Hingga di tengah-tengah permainan, suara kumandang adzan terdengar dengan begitu nyaring. Kulihat lewat bingkai jendela hostel, menara masjid yang begitu dekat. Oh, pantas saja suaranya begitu nyaring melengking. Hostel murah yang biasa disewa oleh pria hidung belang dan pelacur ini ternyata jaraknya hanya selemparan batu dari masjid. Aku kadang bertanya-tanya, apa sebenarnya fungsi masjid jika di sekitarnya kau masih bebas melakukan dosa?
“Kenapa kau berhenti?” tanya pelangganku yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Memang aku mengenal sebagian pelangganku. Tapi aku sangat yakin banyak diantara mereka yang memakai nama-nama samaran alias palsu. Terutama orang-orang besar, punya kepentingan dan orang berseragam, entah itu ABRI, Polisi atau bahkan PNS sekalipun. Mereka takut jika ketahuan menyewa tubuh pelacur. Mereka biasanya menyewaku lewat aplikasi kencan tanpa memasang foto profil dan nama lengkap. Bahkan ada yang namanya hanya berupa buah pir yang menjadi symbol belahan pantat wanita atau gambar pisang sebagai symbol apa yang mereka miliki.
Lagi pula, kenapa pria miskin ini tetap menyembunyikan namanya? Ah, apa peduliku?
“Hei, aku tanya kenapa kau diam saja seperti patung? Kenapa kau minta berhenti?”
“Ada suara adzan,” jawabku pendek. Aku yang sedari tadi menungganginya (dia memang memintaku untuk di atas) segera turun dan duduk di samping ranjang. Menunggu sampai adzan selesai.
“Memangnya kenapa kalau adzan berkumandang?” Ck, pria miskin ini banyak tanya layaknya seorang wartawan yang menanyai narasumber. Atau jangan-jangan dia seorang wartawan yang menyamar sebagai pelanggan dalam usaha mencari bahan tulisan feature untuk koran atau tabloid? Ah, kalau begitu, sungguh enak sekali jadi wartawan.
“Aku harus menghormati kalimat Tuhan.”