Hidup sebagai seorang wanita tuna susila, aku menemukan banyak sekali wajah-wajah kemunafikan yang mencuat. Tentunya selain dari kemunafikanku sendiri. Aku pernah ditiduri oleh konglomerat, anggota dewan, pejabat, tentara hingga polisi. Nah, bicara tentang polisi, aku pernah bertemu dengan Yulius dua minggu yang lalu.
Kau masih ingat siapa dia? Dia adalah petugas yang menginterogasiku setelah mayat jabang bayiku ditemukan di rimbun bambu dua tahun yang lalu.
Aku sendiri tidak percaya bisa bertemu kembali dengan Yulius. Lebih tidak percaya lagi ketika aku harus bertemu dengan dia di dalam kondisi yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Di satu malam yang dingin, Mami menelponku bahwa ada pelanggan yang sedang menungguiku di sebuah hotel. Mami memberikan nomor si pelanggan kepadaku. Aku pun meluncur ke lokasi dan bertemu di kafe samping hotel sebagaimana yang pernah dijanjikan.
Awal bertemu, aku sudah cukup familiar dengan wajahnya. Rahang tegas, dengan mata elang yang dinaungi alis tebal itu tercetak dengan begitu kuat di kedalaman memori ingatanku. Maka ketika aku datang ke restoran itu, aku tertegun untuk beberapa saat lamanya dan mengamatinya lekat-lekat.
“Hai?” sapanya sembari melambaikan tangan. Kemudian alis tebalnya itu berkerut demi melihatku menatapnya sedemikian rupa.
Aku pun mendekat ke arahnya dengan benak yang masih berkecamuk dengan tanya, kemudian mencoba menggali memori, mengingat-ingat siapa sosok yang kini ada di hadapanku. Setelah berpikir cukup keras, aku baru mengingatnya. Dialah Yulius.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya demi melihatku menatapnya dengan tanpa berkedip.
Aku membuang tatapanku dan berbisik, “Tidak apa-apa.”
“Yakin tidak apa-apa? Kamu melihatku seperti melihat hantu.”
“Nggak. Tadinya aku pikir kamu mantan teman sekelasku. Soalnya wajah kamu sama dia mirip.” Aku berbohong. Tentu saja aku ingat dia. Dia seorang polisi. Entah bujangan atau sudah beristri, aku tidak peduli. Yang jelas, oknum polisi yang ternyata suka menyewa tubuh pelacur ini menjadi sumber rezekiku malam ini.
Aku bertanya-tanya, apakah dia mengenaliku? Pertanyaan konyol itu sejurus kemudian dimentahkan oleh pikiran lain yang timbul. Tentu saja Yulius tidak akan pernah mengingatku. Hampir setiap hari dia bertemu orang-orang baru yang masuk ke kantor polisi dengan beragam kasus yang mereka bawa. Aku diinterogasi dua tahun yang lalu. Boleh jadi setelah itu dia telah menginterogasi ratusan orang lainnya. Ratusan wajah telah dia temui. Jadi sangat mustahil dia ingat wajahku yang telah dia lihat dua tahun yang lalu di kantor polsek kampung halamanku.
“Apa pekerjaanmu, sayang,” pancingku, meski aku yakin bahwa dia tidak akan jujur tentang pekerjaannya.
“Aku seorang pengangguran,” jawabnya santai sembari menyomot satu batang rokok kretek dari bungkusnya. Tangan kanan menjepit rokok, tangan kiri menghidupkan pemantik, membakar ujung rokok sehingga mencipta bara. Kemudian menyesapnya dengan dalam. Tampak begitu nikmat.