Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #34

Penjaja Syahwat Semak Belukar

Malam itu aku tengah bermain dengan seorang tukang ojek pangkalan di antara rimbun semak belukar ketika aku mendengar suara keributan di sekitar kami. Dari keributan yang muncul, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Betul saja, aku melihat lusinan lelaki berseragam menggerebek para perempuan yang tengah berasyik mansyuk di warung dan semak-semak. Diantara mereka ada teman-temanku. Aku melihat polisi itu menggiring beberapa temanku ke dalam truk patroli yang terparkir di pinggir semak-semak dan warung remang-remang biasa kami mangkal. Beberapa orang petugas satpol PP berteriak meminta diantara mereka untuk segera naik. Sebagian petugas masih main kejar-kejaran dengan beberapa orang yang menyelamatkan diri, termasuk diriku. Diantara mereka cukup direpotkan untuk main kejar-kejaran dengan petugas. Bagaimana tidak repot, kami memakai sepatu hak tinggi dan rok mini yang super ketat. Cukup membatasi gerak langkah yang tergesa.

Pertama kali mendengar keributan itu, aku segera berdiri dengan tegak. Sang tukang ojek pangkalan yang sedari awal menggeranyangiku sontak mengangkat celana jeans belelnya dan menaikan resleting dengan terburu-buru meski berahinya belum tuntas. Sama-sama lari menyelamatkan diri ke arah yang berlawanan. Aku tidak akan melarikan diri ke semak-semak atau kebun karena satpol PP pasti menyisirnya. Aku lebih memilih berbelok ke arah pemukiman dengan langkah yang cepat layaknya langkah para pelari dalam lomba sprint. Ah, aku belum pernah bercerita kepadamu bahwa dahulu aku sering ikut lomba dalam bidang olahraga, salah satunya lari sprint untuk kategori perempuan. Beberapa kali memenangkan lomba hingga tingkat kabupaten. Dan hasil dari kebiasaan tersebut ternyata membawa peruntungan di hari ini. Aku terlepas dari kejaran satpol PP.

Karena aku tidak ingin gerakanku terbatas, kulepas sepasang sepatu hak tinggi yang aku pakai dan menjinjingnya. Beberapa ibu-ibu yang kutemui di sepanjang gang menatapku heran. Sebagian menatapku dengan tatapan penghinaan.

“Lonte!” seru seseorang perempuan ketika aku lewat. Aku tidak ingin membalas serapah itu. Aku hanya perlu melanjutkan langkahku.

Sayangnya, nasib baik kali ini tidak berpihak sama sekali. Di depan gang kulihat seorang anggota satpol PP wanita mencegatku. Mau tak mau aku berbalik arah dan lari terbirit-birit mencari belokan lain.

‘Hai! Jangan lari!” seru si wanita satpol PP. aku tidak peduli. Aku berbelok ke gang sebelah kiri. Gang ini lebih sempit dan kumuh. Kemudian aku kembali berbelok ke gang yang menjorok ke kanan puluhan meter setelahnya. Hampir menabrak sepasang remaja yang tengah berjalan beriringan. Aku masih sempat mendengar sumpah serapah mereka kepadaku. Dua kali kakiku juga tak sengaja menendang dua ekor tikus malang yang tengah berkeliaran dan melintas di depanku. Tikus-tikus memang suka berkeliaran di gang sempit, bau dan gelap seperti gang yang kulewati. Kehidupan yang sama yang aku jalani. Jadi, kupikir hidupku tak jauh beda dengan kehidupan tikus. Menyukai malam, kegelapan, dan tentu saja kotor. Hanya saja, tikus kotor secara lahir, dan aku kotor dalam hal batin.

Aku keluar dari mulut gang dan melihat ada jalan besar. Lidahku mendecak. Tantangan ini tidak mudah. Di sini sudah pasti aku semakin terlihat, begitulah pikirku. Tatapanku memindai keadaan sekitar dan sontak kedua mataku terpaku pada warung kopi di pinggir jalan. Barangkali aku harus sembunyi di warung kopi tersebut. Tanpa berpikir panjang aku menyeberang jalan dan masuk ke dalam warung kopi tersebut.

Tampak seorang pemuda tinggi besar dan berkulit hitam manis tengah duduk di kursi sembari menekuri layar televisi 21 inci yang menayangkan berita kriminal.

“Bang, boleh ikut ke WC nggak? Perut saya mules.” Aku mengutarakan alasan untuk bisa masuk ke dalam rumahnya atau mungkin kostnya yang merangkap dengan warung di depan.

“Oh, silakan,” ujar si pemuda dengan senyum lebar. Tampaknya dia tidak risih melihat penampilanku yang norak. Dia kemudian membuka pintu yang menghubungkan antara warung dengan ruang di dalam.

“Silakan, Mbak. WCnya ada di belakang. Paling ujung,” jelasnya sembari membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan diriku.

Lihat selengkapnya