Tak berapa lama, pemuda itu kembali dengan membawa nampan berisi mie goreng dan sambal. “Selamat menikmati,” ujarnya. Masih dengan senyuman khasnya.
Setelah menandaskan semangkuk mie goreng dan menyeruput setengah cangkir kopi susu, aku pun bermaksud untuk kembali pulang ke kost. Tapi rencana itu aku batalkan mengingat baru satu jam yang lalu razia diadakan. Aku khawatir mobil patroli itu masih berkeliaran di jalan utama. Jadi aku pun memutuskan untuk mengisi waktu hingga larut malam di warung pemuda tampan ini. Lagi pula, tak ada salahnya menghabiskan waktu dengan mengobrol ngalor ngidul dengan si pemilik warung.
“Udah lama buka lapak di sini, Bang?” tanyaku pada si pemuda yang sedari tadi memainkan ponselnya. Dari suara-suara yang aku dengar dari speaker ponsel yang berbunyi ‘double killed’, bisa kutebak dia tengah memainkan game yang tengah fenomenal di kalangan anak muda itu.
“Lumayan lah, dua tahun,” jawabnya. Tahu diajak mengobrol, dia pun menyimpan ponselnya dan kembali menatapku. “Kenapa memangnya?”
“Nggak, nanya aja.”
“Kalo kamu sendiri kerja apa?” dia balik bertanya.
Aku hampir mengatakan dengan jujur bahwa aku seorang pelacur. Akan tetapi karena lelaki yang berada di hadapanku ini terlihat begitu menawan, aku harus berbohong tentang apa pekerjaan yang tengah aku lakoni. “Aku SPG.”
“Emang kalo jadi SPG harus berpakaian minim dan pake make up menor begitu ya?” dia mungkin bertanya, tapi bagiku itu tak lebih dari sindiran yang menyakitkan. Agaknya dia tipe orang yang tidak pernah berpikir dua kali untuk melontarkan pertanyaan kepada lawan bicaranya.
“Iya,” jawabku pendek, menelan ludah dengan susah payah. “Kenapa memangnya?”
“Nggak kenapa-napa.”
Beberapa saat lamanya kami terdiam satu sama lain. Sehingga aku memutuskan untuk menambah kopiku. “Boleh tambah kopinya, bang?”
Pemuda hitam manis pemilik senyum manis itu tergelak. Mungkin aku lebih lucu dari badut jalanan di matanya. Kupikir pertanyaan tadi nggak ada lucunya sama sekali. Tapi kenapa dia tertawa? “Kok tertawa sih?”
“Kamu itu aneh. Minta nambah kopi saja pake nanya boleh apa nggak. Ya boleh lah. Masa nggak boleh.”
Aku jadi ikut tertawa.
“Sudah lama, jadi SPG?” tanyanya sembari menyobek kopi sachet untukku.
“Baru empat bulan.” Aku memang baru empat bulan menjadi seorang pelacur. Mungkin baru puluhan lelaki yang tidur dengan diriku. Dan aku tidak pernah sudi untuk menghitungnya. Aku hanya sudi menghitung berapa persen uang yang aku peroleh dari pekerjaan haram ini. Aku bukan pelacur yang membanggakan tentang jumlah lelaki yang telah tidur denganku. Lagian untuk apa pula aku menghitungnya? Ah, aku berpikir begini karena pernah mendengar ada seorang pelacur yang mendapatkan Guiness word Record setelah mengaku telah tidur dengan ratusan ribu lelaki selama karirnya sebagai pelacur. Kupikir itu gila, sih.
Tak menunggu lama dia sudah kembali membawa cangkir dan tatakan. Setelah itu dia kembali duduk di bangku panjang. Sementara aku menyeruput kembali kopi kedua.
“Saya tebak pasti kamu tersiksa dengan pekerjaan yang kamu lakoni,”