Diam-diam aku dengan jujur mengakui bahwa perasaan itu timbul. Awalnya hanya sebiji benih yang tertanam di hati. Tapi kemudian benih itu tumbuh dengan sulur-sulur yang semakin memanjang dan menumbuhkan bunga yang mekar. Aku jatuh cinta pada Yuda. Aku jatuh cinta dengan semua tanggungjawab dan kerja kerasnya. Aku jatuh cinta dengan seloroh yang tak pernah habis dia ciptakan sehingga membuat kami semakin akrab satu sama lain.
Setiap kali menjelang dzuhur, seringkali Bu Hayati memintaku untuk mengantarkan menu makan siang untuk Yuda di warung kopi. Serantang makanan aku antarkan dengan hati berbunga. Aku membayangkan jika aku adalah seorang istri dan Yuda adalah seorang suami. Sungguh satu imajinasi yang sangat berlebihan. Memalukan tapi begitu liar berkembang di benakku.
Rasa yang berkembang itu sama persis dengan rasa yang pernah ada antara aku dan lelaki pengkhianat itu. Reza. Apakah aku takut? Tentu saja aku tidak takut. Karena aku tahu Yuda adalah lelaki yang begitu halus dan berbudi. Jikapun dia jahat, itu tak jadi soal. Karena aku pun tidak pantas untuknya dan tidak mungkin bisa menjadi miliknya.
Hanya saja….
Tentu saja aku sadar diri. Aku tidak pantas untuk Yuda dan Yuda tidak pantas untuk bersanding bersamaku. Aku hanyalah gadis murahan yang pernah terjerumus pada hubungan terlarang, kemudian hamil, kemudian terjerat kasus pembuangan bayi, kemudian menjadi pelacur. Lelaki mana yang mau denganku. Seandainya Yuda tahu semua itu, dia mungkin akan jijik melihatku.
Maka, kupendam semua rasa itu. Kunikmati dalam diam dan angan yang tak pernah berkesudahan. Biarlah itu menjadi imaji liar di kepalaku. Toh setiap orang bebas untuk berimajinasi.
Hingga kemudian imaji itu menjadi sebuah kenyataan yang begitu membingungkan ketika suatu hari Yuda mengajakku untuk menonton film di bioskop yang dilanjutkan dengan makan malam di warung pecel lele samping jalan raya.
Aku masih ingat bahwa siang itu aku mengantar makan siang untuknya dan dia berkata kepadaku. “Malam nanti temenin aku nonton yuk.”
“Nonton apa?”
“Nonton film. Ada film bagus yang diputar di bioskop. Nanti aku yang bayar.”
“Nanti aku izin dulu sama ibu kamu,” ujarku kemudian.
“Aku sudah izin tadi pagi. Dia mengizinkan.”
Akhirnya malam itu aku dibonceng Yuda menuju gedung bioskop yang adanya di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Ini adalah kali pertama aku diajak keluar oleh Yuda. Aku biasanya dibonceng oleh Yuda hanya ketika hendak belanja kebutuhan dapur atau ketika ada keperluan-keperluan penting lainnya. ketika dibonceng olehnya, ada getar-getar halus yang timbul di hatiku. Semacam debar yang pernah aku rasakan ketika pertama kali jatuh cinta.
“Kamu suka nonton juga kan?” tanya Yuda ketika kami membelah jalana kota dengan kecepatan sedang.
“Suka,” jawabku pendek.
“Suka nonton film genre apa?”
“Romance sama komedi,” jawabku secukupnya.