Seperti malam-malam sebelumnya, aku dan Bu Hayati tengah duduk berdua di ruang tamu. Aku tengah menekuri video tutorial membuat kue di Youtube, sementara Bu Hayati menonton acara sinetron malam. Biasanya kami tidak akan beranjak sebelum pintu diketuk dari luar. Jika ada ketukan di pintu, itu artinya Yuda pulang. Sekarang masih jam 7.30. setengah jam lagi biasanya Yuda tiba di rumah.
“Nak Rara.” Bu Hayati yang tengah menonton acara sinetron di layar plasma itu memanggilku dari ruang tamu.
Aku yang tengah berbaring di sofa menegakan tubuhku dan menghampirinya. “Ya, Bu. Ada apa?” kemudian aku duduk di sampingnya. Aku mulai memijat bahu wanita paruh baya itu dengan gerakan perlahan. Biasanya jika dia memanggilku, dia meminta tolong untuk memijit bahunya atau telapak kakinya yang kesemutan. Tentunya Bu Hayati sudah tidak sungkan untuk meminta tolong. Dia pernah bilang kepadaku bahwa dia sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri. lebih-lebih dalam hidupnya dia sangat mengharapkan kehadiran anak perempuan. Sayang, mimpi itu harus kandas karena kanker menggerogoti rahimnya. Tak ada jalan lain selain harus mengangkat rahim itu. Itu menurut pengakuannya padaku di sela obrolan-obrolan kami ketika memasak bersama.
“Ibu mau bicara.” Bu Hayati memulai percakapan. Matanya menatapku dengan seksama.
Aku membenahi dudukku. “Mau bicara apa, Bu?”
Bu Hayati menghela napas panjang. Matanya masih menatapku. Bu Hayati tak menghiraukan adegan ‘bicara di dalam hati’ yang tengah dimainkan oleh para pemain sinetron yang berkisah tentang anak yang tertukar. “Kamu selama ini belum pernah bicara tentang orangtua kamu. Apakah hubungan kamu sama orangtua baik-baik saja?”
Aku tersenyum getir sembari membuang muka. Ini pertanyaan yang tidak ingin aku dengar. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita tentang orangtuaku kepada Bu Hayati. Aku pikir tidak ada gunanya juga. Pun, Bu Hayati tidak pernah memintaku bercerita, kecuali malam ini. “Iya bu. Hubunganku sama kedua orangtua baik-baik saja.”
“Kalau memang begitu, kenapa kamu nggak pulang ke rumah?”
“Belum waktunya, bu. Mungkin nanti pas lebaran tiba,” jawabku, mencoba menutupi rasa curiga yang tersirat dari pertanyaan Bu Hayati.
“Kapan terakhir kali kamu pulang?” tanyanya lebih lanjut. Matanya masih lekat menatapku.
“Masih baru. Empat bulan yang lalu,” jawabku. Satu kebohongan itu terpaksa aku lontarkan untuk menutupi kecurigaan yang menguar dari tanyanya yang merentet.
“Bagaimana kabar ortu kamu, Ra. Sehat semua, kan?”
“Alhamdulillah, Bu, Sehat.”
“Syukurlah, kalau begitu. Kalau kamu pengen pulang ke kampung, ibu izinin. Nggak apa-apa, kok. Warteg masih bisa beroperasi meski dengan menu seadanya. Yang penting kamu bisa pulang dan ketemu ortu. Bunda paham bagaimana rasanya hidup jauh dari anak. Rasanya selalu didera rasa kangen.”
“Iya, bu.” Hatiku mulai gerimis mendengar kata-kata Bu Hayati.
“Nah, Bunda kamu pasti juga kangen sama kamu. Pulanglah sesekali, kalo ada rezeki lebih. Karena surga kita itu ada pada orangtua. Mumpung mereka masih ada.”
Kali ini aku tidak mampu menyembunyikan air mata. Selama ini aku mendustai perasaanku sendiri. aku merindui Bunda dan ayah sepanjang waktu. Setiap malam, dua wajah itu selalu membayangi pelupuk mataku. Dan sekarang semua kerinduan itu mencapai titik puncak ketika Bu Hayati menyinggung tentang bakti untuk orangtua. Aku menangis terisak, tanpa sadar.
Bu Hayati merengkuh pundakku dan aku menangis di pundaknya. Wanita paruh baya itu menepuk lembut punggungku, kemudian menegekan tubuhku dan menatap manik mataku yang basah. “Selama ini saya tahu bahwa kamu punya masalah sama ortu kamu. Itu saya lihat dari sikapmu selama ini. Saya melihat bagaimana kamu terlihat seperti enggan bicara tentang orangtua kamu. Tapi saya tahu kamu masih mencintai mereka.”
“Bagaimana ibu tahu?”
“Dua malam yang lalu, ibu sempat melihat kamu menekuri sebuah potret. Ibu lewat di depan kamar kamu dan tanpa sengaja mendengar kamu berbisik, ‘Bunda, ayah, Rara kangen kalian berdua.’”
Aku kembali menangis dan tenggelam kembali di pelukan wanita berhati malaikat itu.
“Pulanglah, Ra. Besok kamu bisa pulang ke kampung. Kamu juga bisa mengajak saya sama Yuda. Biar saya bisa kenal orangtuamu.”
***
Malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Hatiku diamuk kerinduan untuk pulang sekaligus kekhawatiran. Aku tahu bahwa Bunda juga memiliki kerinduan yang sama. Akan tetapi aku tidak yakin bagaimana dengan perasaan ayah. Telah dua kali aku mengecewakan lelaki itu. Kekecewaan yang pertama telah dia tuai ketika mendapati kenyataan bahwa aku hamil dan menjadi pelaku pembuangan bayi. Dan kekecewaan yang kedua harus dia telan karena aku tidak menuruti kehendaknya dan lebih memilih untuk melarikan diri.
Obrolanku dengan Bu Hayati menguarkan rasa rindu itu kembali.
Meski kekhwatiran itu besar, tapi aku memutuskan untuk pulang hari ini. Tetapi aku tidak untuk kembali pulang selamanya. Aku sudah nyaman membersamai Bu Hayati dan menjadi pegawainya. Aku hanya pulang untuk bisa menuntaskan rasa rinduku pada orangtua.
“Biar saya dan Yuda ikut pulang bareng kamu,” ujar Bu Hayati ketika aku mengungkapkan kepadanya bahwa aku mantap untuk pulang ke kampung. Aku awalnya merasa sungkan untuk mengajak serta Bu Hayati dan Yuda pulang ke kampung. Akan tetapi aku pikir-pikir ada untungnya juga aku mengajak mereka turut serta. Dengan kepulangan bersama Bu Hayati dan Yuda, setidaknya Bunda dan ayah tidak merasa khawatir dan meragukan cerita kehidupanku di kota. Aku akan mengarang cerita bahwa aku pernah menjadi seorang SPG dan beralih menjadi pelayan warteg Bu Hayati. Selain dari pada itu, Bu Hayati bilang kepadaku bahwa dia juga ingin mengenal dengan baik keluargaku di kampung. Aku tidak tahu apa untungnya bagi beliau mengetahui keluargaku.