Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #41

Obrolan Menjelang Tidur

Ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul di hatiku. Sakit yang begitu perih dan membuatku mual. Ayah benar-benar sudah muak dan tak lagi peduli dengan diriku. Agaknya aksi melarikan diri setelah ayah memutuskan supaya aku tetap melanjutkan pendidikan membuat ayah murka. Bahkan kepulanganku ke rumah tak membuatnya cukup senang. Bahkan dia ingin aku tidak kembali pulang. Itu artinya dia sudah tidak lagi menganggap keberadaanku.

“Kok ayah ngomongnya gitu sih?” protes bunda. Wajah yang penuh binar kini mulai layu, muram dan tampak tak lagi bercahaya.

“Lha iya, anak macam apa yang kabur dari rumah karena nggak mau nurut sama ortu. Perempuan pula. Mungkin di kota pun dia sudah tidur sama banyak lelaki.”

Jleb! Luka itu semakin dalam. Luka itu semakin perih. Aku hanya diam di samping bunda. Menjauhkan wajah dari layar sehingga tak nampak oleh ayah. Aku memang diam, tapi mataku tidak diam. Mataku berair dan menganak sungai. Semua kata yang terlontar itu memang kenyataan yang tak bisa aku tolak. Kenyataan pahit yang paling sulit aku lupakan meski aku berusaha menghapus semua rekam jejak di benak.

“Rara di kota kerja, Pa. dia pulang untuk minta maaf sama kita.”

“Kerja? Kerja apa?”

“Pernah jadi SPG. Sekarang sih jadi pelayan di warteg. Dia pulang juga bareng sama bos wartegnya.”

“Bos wartegnya laki-laki?” tanya ayah lebih lanjut, dengan nada penuh curiga.

“Ibu-ibu, seumuran bunda,” jawab Bunda. “Sudahlah, Pak. Rara pulang hanya untuk minta maaf. Masa ayah nggak mau memaafkan darah daging sendiri.”

“Mana dia? Biar ayah bicara sama dia!”

Bunda menyorongkan ponsel dan aku menerimanya dengan tangan gemetar. Rasa takut sekaligus rindu bercampur dengan rasa sakit karena kata-kata ayah tadi.

Kini aku bisa melihat dengan jelas wajah ayah di layar ponsel. Aku tidak menangkap senyumnya. Dia hanya terdiam untuk beberapa saat lamanya. Diam sembari menatapku. Aku tidak tahu apakah dia sedang menilaiku? Aku juga bingung apakah aku yang harus menyapanya terlebih dahulu?

“Sehat kamu, neng?” pada akhirnya ayahlah yang pertama kali menyapa, mendahului gerak lidahku yang hendak menyapa dirinya.

“Sehat, yah. Rara sehat dan nggak kekurangan satu hal apa pun,” balasku dengan mata yang tiba-tiba saja berair. Aku lagi-lagi terisak. Sedih karena rasa bersalah sekaligus haru. “ Tapi ada satu hal yang kurang.”

“Apa?”

“Ayah. Rara rindu ayah. Rara ingin ayah ada di sini…”

Lihat selengkapnya