Hubunganku dengan Yuda semakin dekat. Kami semakin akrab satu sama lain. Pun Bunda dan Bu Hayati yang sudah aku anggap sebagai ibu keduaku. Mereka juga akrab dan seringkali berkomunikasi lewat video call. Hingga kemudian di suatu hari, sehabis menunaikan shalat mahgrib, aku dipanggil oleh Bu Hayati. Beliau memintaku untuk memijat betisnya yang seringkali terasa pegal.
Di tengah aktifitas memijat itulah dia bicara kepadaku tentang rencana untuk kembali bersilaturahim ke kampung. “Minggu besok kita ke rumah Bunda lagi, ya Ra.”
“Lho, kan Rara baru sebulan pulang, bu.”
“Iya. Tapi ini beda.”
“Bedanya gimana.”
“Bunda ingin membicarakan rencana pernikahan kamu sama Yuda bareng Bunda. Oh iya, sama ayah kamu juga.”
Aku terperanjat. “Secepat itukah?”
“Ya. Kalau bisa cepat, kenapa harus ditunda. Kamu dan Yuda itu sudah cocok satu sama lain. Bunda juga berpikir bahwa kamu gadis yang terbaik untuk Yuda. Bunda juga tahu kamu suka sama Yuda. Jadi nggak ada alasan buat menunda.”
Aku menundukan kepala sembari memainkan kain lap yang sedari tadi aku genggam. Ada kegamangan, keraguan dan rasa takut yang meremas-remas semua kepercayaan diri yang selama ini berusaha aku bangun. ‘Bu, Ibu tidak tahu siapa saya yang sesungguhnya. Tapi saya tidak akan pernah mempermalukan diri saya di hadapan ibu. Saya tidak akan pernah mengungkapkan ini kepada anak ibu karena saya takut untuk kehilangan cintanya. Maafkan saya, bu,’ ucapku dalam hati.
“Bagaimana, kamu setuju kan?”
Aku mendongakan kepala. Mengangguk, meski hanya dengan anggukan yang pelan. Akan tetapi aku melihat binar rasa senang di kedua bola mata Bu Hayati. Dia seperti memiliki ekspektasi yang tinggi dan percaya bahwa aku adalah gadis terbaik di matanya. Aku sendiri bingung apakah aku adalah seorang penipu yang berhasil mengelabui anak dan ibunya sekaligus? Ah, aku harap tidak.
Maka, ketika ada acara pengajian di masjid dekat rumah, aku berniat untuk menanyakan hal itu kepada ustadzah muda lulusan al-Azhar yang biasa mengisi kajian di situ. Namanya Ustadzah Oki. Akan tetapi kami, para jamaah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Teteh. Umurnya masih muda, mungkin awal 25 tahun. Enam tahun lebih tua dariku.
Aku biasa menghadiri kajian Teh Oki barang sebulan sekali. Sesekali bersama bu Hayati, sesekali sendiri. Jadi, di pekan ini aku berangkat ke pengajian tanpa kehadiran Bu Hayati sehingga hal itu adalah kesempatan yang leluasa untuk bertanya.
Setelah pengajian usai dan jamaah bubar, aku masih bertahan di dalam masjid dan menunggui sang ustadzah selesai dengan urusannya. Akan tetapi demi melihat aku masih di dalam, ustadzah itu menoleh ke arahku sebelum dia berlalu dari masjid. “Duluan ya, Mbak,” ujarnya.