Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #44

Hari yang Sakral

Setelah sesi curhat dengan Ustadzah Oki, serangan rasa panik dan khawatir itu berkurang dengan sendirinya. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa pilihanku untuk tetap diam dan tidak mengungkapkan masa laluku tidak salah sama sekali. Meski ustadzah Oki menyarankan kepadaku untuk berterus terang, tapi aku tetap mempertahankan pendapatku. Bahwa aku berhak untuk menutup rapat semua rahasia itu.

Hari itu aku kembali pulang bersama Bu Hayati dan Yuda. Kali ini tentu saja bukan sekedar kepulangan biasa karena menuntaskan kerinduan. Bukan pula sebatas ajang silaturahim sebagaimana tujuan kunjungan yang pertama. Kunjungan Bu Hayati yang kedua ini adalah untuk membicarakan tentang pernikahan antara diriku dan Yuda.

Ketika kami tiba di rumah, selain berbicara kepada Bunda, Yuda juga tentu melamar diriku kepada Ayah. Lewat whatsapp video call, Yuda mengatakan kepada ayah bahwa dia ingin melamar diriku. Ayah tersenyum. Di seberang sana, Ayah terlihat sangat bahagia dan tentu dia mengizinkan Yuda untuk memiliki diriku.

Bunda juga bahagia. Pada akhirnya, anak semata wayangnya yang pernah hidup dalam kebobrokan ini menemukan jodohnya. Bersanding dengan lelaki terhormat yang pada dasarnya tidak pantas untuk menjadi pendamping diriku yang buruk dan munafik ini.

Suatu malam, sebelum kepulangan kembali ke kota, Bunda berbisik kepadaku. “Kamu sudah mengatakan dengan jujur semua masa lalumu kepada Yuda, kan?”

Aku terdiam beberapa saat lamanya. Aku harus berbohong kepada siapa pun, termasuk kepada Bunda. “Iya. Minggu kemarin Rara sudah mengungkapkan semua masa lalu Rara kepada Yuda.”

“Bunda yakin Yuda orangnya baik, jadi dia nggak mempermasalahkan masa lalumu, kan?”

Aku menggeleng. Geleng kebohongan. “Awalnya sih Yuda terkejut, tapi dia bisa menerima Rara, kok, Bun.”

Bunda mengangguk mantap. “Iya, bunda percaya kalian akan baik-baik saja. Bunda selalu mendoakan yang terbaik buat kamu.

Kami tak terlalu lama di kampung. Kembali ke kota tak hanya melanjutkan rutinitas, tapi juga melanjutkan mimpi kami. Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Persiapan pun kami mulai. Ayah juga berjanji akan pulang. Sebelum pulang dia juga berjanji mentransfer dana untuk membantu resepsi pernikahan yang akan diselenggarakan di dua rumah. Resepsi pertama di rumah Bu Hayati. Resepsi kedua di rumah kami. Bunda juga meyakinkanku bahwa dia memiliki tabungan lebih dari cukup untuk biaya pernikahan diriku dengan Yuda. Dahulu, Bunda dan ayah rajin menabung untuk biaya pendidikanku hingga bangku kuliah. Karena kecelakaan dan kasus memalukan itu, dana pendidikanku harus tetap mengendap. Tapi pada akhirnya dana itu dialihkan untuk pernikahanku. Lucu sekali ya.

Di hari-hari tertentu, Yuda menutup warung kopinya hanya demi menemaniku hunting baju-baju pengantin di butik. Di lain kesempatan, kami bersama-sama survey gedung resepsi atau hall yang disewakan untuk acara-acara pernikahan.

Dua minggu sebelum pernikahan, kami berdua meminta bantuan teman untuk mendesain kartu undangan yang bagus dan artistik. Bayarannya pun tak murah. Setelah jadi, kami mencetaknya dan siap menyebarkan undangan itu seminggu sebelum hari pernikahan tiba.

Sementara Bu Hayati sibuk mencari tukang rias yang benar-benar perfect dalam memoles pengantin.

“Bunda nggak mau kamu nanti dipoles kayak ondel-ondel,” seloroh Bu Hayati dengan gelak tawa. Aku hanya nyengir kuda.

Sebulan sebelum pernikahan itu dilangsungkan, kami benar-benar sering bersama untuk menyempurnakan rencana paling sakral dalam kehidupan kami berdua. Kami sering berboncengan dan makan di luar. Rasa-rasanya waktu begitu lambat merambat. Hari demi hari kuhitung dengan hati tak sabar.

***

Lihat selengkapnya