Aku tidak ingin memperpanjang cerita, karena tentu kau juga tahu seperti apa detail acara resepsi pernikahan pada umumnya. Aku hanya ingin bilang bahwa aku lumayan bosan untuk duduk di pelaminan selama berjam-jam lamanya. Kemudian sesekali berdiri untuk menyalami para tamu yang datang ke panggung pelaminan dan sekedar permintaan foto bersama atau selfie. Teman, tetangga, kolega, semua datang tumpah ruah ke acara kami.
Meski begitu, itu semua lebih baik dibandingkan kengerian yang membayangi hatiku tentang malam pertama yang harus aku lalui. Aku pikir lebih baik tidak ada malam dan selamanya siang dan terang benderang. Tentu saja itu harapan konyol yang tak pernah menjadi kenyataan.
Pada akhirnya acara resepsi selesai. Orang-orang kembali pulang dengan perut kenyang dan membawa cerita masing-masing. Juru foto pun sudah pulang dan berjanji akan datang tiga hari setelahnya dengan setumpuk album dan soft file di dalam CD. Tukang sound sistem sibuk menggulung kabel, mencabut colokan listrik dan segala tetek bengeknya. Tukang tenda hajatan asyik mencopot besi-besi penopang dan kembali mengangkutnya lewat mobil bak engkol.
Sementara kerabat dan keluarga disibukan dengan membereskan rumah, mencuci perabotan, menggulung karpet, menumpuk kursi plastik, menyapu halaman yang penuh sampah, membuang janur, dan semacamnya.
Ibu-ibu tetangga dan kerabat sibuk merapikan makanan sisa. Sebagian dari mereka tampak semringah karena mendapatkan jatah makanan selain dari upah karena ikut bantu-bantu mengolah makanan.
Semua lelah karena bagian tugasnya masing-masing. Orangtua lelah dengan semua urusan. Kami juga merasa lelah meski hanya duduk di kursi pelaminan seharian penuh.
Semua sudah kembali normal. Hajatan telah selesai. Malam itu aku dan Yuda tengah duduk bersisian di ruang tamu. Tangan kami saling menggenggam. Baru saja makan setelah seharian hanya makan secukupnya saja. Bunda dan ayah sudah masuk ke kamarku. Kata Bu Hayati, kamarku untuk istirahat Bunda dan ayah selama di sini. Sementara aku nanti sudah pindah kamar ke kamar milik Yuda yang selama ini aku tahu lebih dari cukup untuk berdua. Ada satu bed single yang lumayan besar. Ditambah dengan lemari jati dan meja di sampingnya.
Tiba-tiba saja muncul Bi Darsih, adik dari Bu Hayati –yang kini menjadi ibu mertuaku- dari arah belakang dan menggoda kami berdua. “Eh, kamar pengantinnya sudah Bibi siapkan ya. Pokoknya kalian pasti betah deh.” Satu alis terangkat dan satu mata mengedip ganjen.
Yuda sudah hampir melempar bibinya dengan bantal kursi ketika perempuan umur awal empat puluh tahun itu berlalu dengan tergesa.
Kamar pengantin? Tiba-tiba saja perutku mulas. Serasa dipilin berkali-kali. Apa yang nanti malam akan aku lakukan di kamar pengantin? Aku takut. Karena alasan takut inilah aku berjanji untuk mengulur waktu dan tak akan penyerahkan diriku kepada Yuda. Mungkin tidak untuk malam ini, tidak juga untuk malam-malam lainnya.
“Hm, akhirnya…” seru Yuda sembari merabahkan kepalanya di pangkaunku, sementara kakinya dia selonjorkan ke pegangan sofa.
“Akhirnya apa?” tanyaku sembari menelusuri rambut tebalnya yang berombak. Kumainkan rambut hitam itu, mengelusnya layaknya mengelus bulu kucing atau bulu boneka.