Pagi menjelang dan aku menemukan Yuda sudah tidak ada di sampingku. Kudengar kucuran air keran di kamar mandi. Mungkin dia sedang mandi.
Kulihat jam di dinding. Jarum jam menunjukan angka lima lebih lima belas. Aku terlambat bangun. Maklum saja, karena semalam aku baru bisa terlelap menjelang dini hari. Sementara Yuda sudah mendengkur setelah selesai merancap bermodal tangannya sendiri. Aku tidak menyalahkan Yuda. Yang layak disalahkan adalah diriku sendiri. Dia lelaki dan dia membutuhkan sesuatu untuk menyalurkan hasratnya.
Sembari menunggu Yuda keluar dari kamar mandi, aku membereskan tempat tidur. Kukumpulkan kelopak mawar yang sebagian sudah hancur karena tertindih tubuh kami berdua. Hm, mawar yang malang. Yuda yang malang. Semua dekorasi romantisme kamar pengantin itu tidak ada gunanya sama sekali. Karena malam tadi aku tidak menyerahkan diriku dan Yuda tidak mendapatkan keperawananku. Aku tertawa di dalam hati. Meski aku menyerahkan diriku, dia tidak akan menemukan keperawanan itu. Karena aku sudah tidak punya itu. Aku sudah tidak memiliki harga diri. Karena kupikir harga diri wanita bisa diukur oleh harga keperawanan yang dia berikan hanya untuk suaminya. Lelaki yang sah dalam romantisme kehidupannya.
Tak berapa lama setelah itu, Yuda keluar dan dia tersenyum lebar demi mendapati aku sudah bangun. Aku membalas senyum manis itu dan menatap lelaki itu dengan tatapan takjub. Yuda berkali-kali lipat jauh lebih tampan ketika bertelanjang dada dengan rambut yang masih menitikan air.
“Abang mandi?” tanyaku.
Ada sorot rasa malu di mata lelaki itu. “I-iya.” Mungkin dia merasa malu karena aku mendapati dia mandi sementara semalam antara aku dan dirinya tidak terjadi apa-apa. Sepanjang yang dia tahu, malam tadi aku tertidur pulas dan tidak mengetahui dirinya yang merancap dengan lotion dan tangan.
**
Aku dan Yuda sudah mandi dan berpakaian rapi ketika kudengar ada ketukan di pintu kamar. Kemudian disusul oleh suara Ibu dari balik pintu. “Kalian sudah bangun, kan?”
“Sudah, bu,” jawabku sembari beranjak untuk membuka pintu. Daun pintu itu terkuak dan kutemukan Ibu yang tengah tersenyum menatapku. “Kalian sudah mandi?”
Aku tersipu. “Bang Yuda sudah mandi, Rara belum.”
“Rara diajak mandi bareng nggak mau, Bu,” timpal Yuda yang kali ini kulihat tengah memakai kausnya. Aku hanya mendelik ke arahnya, sementara Ibu hanya tertawa.
“Ya wajarlah. Kalian kan masih pengantin baru. Masih malu-malu kucing. Beruntung kalian bisa campur di malam pertama. Dulu, Ibu sama Bapak baru bisa campur di hari keempat. Ya itu, masih malu-malu.”
“Oh, pantas,” timpal Yuda. Ingin rasanya aku lempar dia dengan bantal.
“Hm. Ya sudah, kalian siap-siap dulu. Ibu sama bunda tunggu di ruang makan ya. Kita sarapan bareng.”
“Iya, Bu,” jawabku dengan senyum lebar. Ibu berlalu dan kembali kututup pintu. Bersiap untuk mandi dan berganti baju.
***
Hari ini Bunda dan ayah kembali pulang ke kampung. Ibu membekali mereka dengan banyak makanan sisa hajatan. Sampai-sampai Bunda dan ayah menolak keras ketika Ibu akan menambahkan bungkusan lain di dalam koper.