Aku dan Yuda hanya tinggal selama dua hari di kampung. Setelah itu kami kembali pulang ke kota untuk meneruskan hidup kami berdua layaknya suami istri pada umumnya. Meski aku harus tinggal bersama mertua, itu tidak jadi soal. Toh sebelum menikah pun aku sudah membuktikan bahwa Ibu adalah orang yang baik, pengertian dan tidak bawel layaknya image ibu mertua yang selalu aku lihat di drama-drama televisi.
Hidup kami memang ajeg dan tidak ada halangan. Itu yang dilihat orang dari luar. Tapi mereka tidak tahu bahwa setiap malam aku dan Yuda sama-sama tersiksa. Aku tersiksa karena harus menahan diri, Yuda tersiksa karena aku tidak mau menyerahkan diri.
Malam-malam berikutnya selalu berulang. Aku selalu menolak permintaannya dengan penolakan yang halus.
Yuda selalu menghela napas panjang. Hela napas yang mengandung kekecewaan. Akan tetapi lelaki itu berusaha menyembunyikan kekecewaannya dengan bilang begini, ‘Tidak apa-apa. Mungkin kamu belum siap.’
Aku tahu bahwa menikah itu bukan melulu untuk urusan kepuasan seksual. Tapi aku juga sadar bahwa ini adalah satu hal yang penting diantara banyak hal lainnya. Banyak pasangan yang selingkuh hanya karena urusan di ranjang. Banyak yang bertengkar dan gugat menggugat karena urusan ranjang. Banyak juga yang pada akhirnya kembali utuh dan berdamai setelah tidur bersama. Masalah seakan menguap dengan kecupan dan kepuasan yang mereka rasai bersama. Jadi kupikir ini bukan masalah sepele.
Di hari-hari selanjutnya aku berbohong kepada lelaki itu bahwa aku tengah datang bulan. “Aku lagi dapet, Bang.”
“Maksudnya?”
“Aku lagi mens.”
“Oh,” jawabnya pendek. Hanya itu. Tapi aku tahu dia merasa gemas, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Selama seminggu lamanya Yuda tidak bisa menyentuhku selain hanya dengan kecupan dan pelukan mesra. Karena aku tidak ingin mengecewakan suamiku, aku menawarkan alternatif lain padanya. Mungkin kami tidak bisa berhubungan layaknya suami istri, tapi aku bisa melakukan hal apa pun selain itu. Blow job, merancap menggunakan tanganku sendiri atau apa pun itu aku siap. Asal jangan hubungan suami istri.
Di hari kedelapan dia kembali bertanya tentang jatah yang selalu tertunda. Hm, agaknya dia tahu bahwa siklus haidh itu tujuh hari. Meski bisa saja lebih.
“Yuk, abang sudah nggak sabar,” pintanya dengan sorot mata menggoda.
“Masih merah, bang,” ujarku dengan sedikit meringis.
“Lho, bukannya mens itu maksimal sampai tujuh hari, ya,” timpal Yuda dengan kerut di dahi. Aku tahu dia telah belajar banyak hingga mengetahui siklus haid segala. Aku tidak mungkin bisa membohonginya terus menerus. Aku tidak mungkin berlari dari semua realitas yang harus aku hadapi.