Yuda dan aku menuruti saran Bunda. Sepekan sekali kami datang ke dokter Inong, seorang spesialis kandungan di rumah sakit ibu dan anak. Dokter Inong menanyai kami berdua dengan banyak pertanyaan, mengetes kami dengan tes ini dan itu. Dia juga menasihati kami tentang pola hidup sehat dan segala hal yang bisa mempengaruhi kesuburan bagi kami berdua.
“Jadi, kalau istri nggak bisa hamil itu jangan langsung dicurigai istrinya nggak bisa menghasilkan anak. Bisa jadi faktor ketidaksuburan itu ada pada pihak suaminya,” jelas dokter Inong sembari melirik suamiku.
Yuda merasa jengah karena secara tidak langsung dia seakan jadi tertuduh. “Jadi, kemungkinan besar saya tidak subur. Begitu dok?”
Dokter Inong mengangguk. “Bisa jadi. Secara jejak rekam medis saya lihat istri anda subur. Tidak ada masalah sama sekali. Masih ada siklus haidh juga, kan?”
Aku mengangguk. Yuda menghela napas panjang.
“Nah, biar saya bisa mengetahui kualitas kesuburan Pak Yuda, saya harus memeriksa sperma Bapak juga.”
Yuda tampak terkejut. Dia sedikit terbelalak dan mengerutkan dahi. “Bagaimana caranya?”
Dokter Inong tertawa. “Ya Tuhan, saya pikir Bapak sudah dewasa. Selama ini main dengan istri gimana?”
Yuda semakin tidak mengerti. “Ma-maksud saya, masa iya saya harus mengeluarkannya di sini? Atau saya bisa membawanya pekan depan?”tanya Yuda dengan ekspresi aneh.
“Pekan depan kelamaan atuh, Pak. Keburu sel spermanya mati,” jawab dokter Inong sembari tertawa. “Ya sekaranglah.”
“Harus pulang dulu ke rumah dong,” ujar Yuda sembari garuk-garuk kepala. Kemudian melirikku. Aku hanya mengangkat bahu.
“Nggak mesti harus pulang ke rumah. Lagian kalau ngeluarinnya di rumah, kelamaan, sel spermanya bisa keburu mati di jalan. Harus cepat diamankan. Pak Yuda dan istri sekarang ke bilik sebelah,” dokter Inong menunjuk pintu kamar di ruang kerjanya. “Di situ Bapak bisa mengeluarkannya dengan bantuan istri bapak.
Aku dan Yuda berdiri dari kursi dengan gerakan kurang yakin.
“Tunggu dulu. Bawa container ini untuk tempat spermanya,” ujar dokter Inong sembari menyerahkan tabung plastik bening berukuran kecil. “Jika sudah, kembali lagi ke sini. Biar spermanya saya periksa di laboratorium.”
Meski agak aneh dengan permintaan tersebut, pada akhirnya aku dan Yuda masuk ke dalam bilik yang dimaksud. Ruangan tersebut ditata dengan baik dan membuat nyaman. Ada ranjang di sampingnya dan ada dua kursi di samping ranjang. Sementara di nakas itu ada beberapa majalah porno yang menampilkan wanita-wanita setengah telanjang.
Aku dan Yuda saling pandang dan geleng-geleng kepala.
“Baru tahu kalau ternyata di dokter spesialis kesuburan itu ada fasilitas seperti ini,” celetuk Yuda setengah berbisik. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
“Sudah, kamu berbaring. Biar aku yang mengerjakan,” seruku.