Tuhanlah yang membolak-balik keadaan dan kondisi hati manusia kapan pun Dia mau. Ada orang yang bisa membencimu setelah pernah mencintaimu, begitu juga sebaliknya. Dan hal itu terjadi pula pada hubungan percintaan aku dan Yuda.
Keyakinan yang berlebihan bahwa kisah cintaku dengan Yuda akan baik-baik saja ternyata meleset. Aku terlalu yakin sehingga lupa kepada kehendak Tuhan. Aku pernah sesumbar di dalam hati bahwa tidak mungkin rahasiaku terbongkar sehingga hal itu menjadi bumerang yang mencelakakan diriku sendiri. Aku lupa diri bahwa yang menggenggam hati manusia itu adalah Tuhan. Tuhanlah yang membolak-balik keadaan dan kondisi hati manusia kapan pun Dia mau. Ada orang yang bisa membencimu setelah pernah mencintaimu, begitu juga sebaliknya. Dan hal itu terjadi pula pada hubungan percintaan aku dan Yuda.
Di suatu hari yang paling kelam dalam sejarah hidupku, kutemukan Yuda yang telah berubah. Aku tidak menemukan senyuman di wajahnya. Aku juga tidak menemukan cinta lagi. Barangkali untuk selamanya.
Saat itu aku baru saja merampungkan semua tugasku di warteg Ibu. Aku baru membereskan semua piring dan peralatan. Memasukan kembali menu-menu yang tersisa ke dalam tempatnya dan kembali pulang. Kutemukan Yuda sudah menantiku di ruang tamu.
“Assalamualaikum, bang,” sapaku.
Dia bahkan tidak menjawab salam yang kuucapkan. Padahal dia tidak pernah begitu. Dia selalu menjawab salamku. Dia juga tidak pernah menampakan muka yang masam. Dia selalu tersenyum atau paling tidak menatapku dengan kasih sayang. Tidak seperti sekarang ini. Ada raut tidak senang yang tergambar di wajahnya. Lebih dari itu, dia tidak pernah pulang secepat ini. Bahkan dia sudah ada di rumah mendahuluiku. Dia selalu pulang di atas pukul delapan malam.
“Kok tumben sih jam segini sudah pulang?” tanyaku kemudian. Mencoba tidak heran dengan sosoknya yang terasa begitu asing. Aku berpikir apa gerangan yang mengubah suamiku? Apa dia bertengkar dengan sahabatnya sehingga dia membawa rasa jengkel itu ke rumah? Atau…
“Aku mau bicara sesuatu. Duduk di sini!” seru Yuda. Lagi-lagi tak mempedulikan tanya yang terlontar dari mulutku. Demi mendengar bahwa dia ingin membicarakan sesuatu denganku, aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan dia tahu semua rahasia yang aku sembunyikan selama ini.
“Kamu kenapa sih, Bang? Ada masalah apa?”
“Duduk, kataku!” serunya sembari mengisyaratkan kepadaku untuk duduk di hadapannya, menunjuk dengan dagu. Satu cara paling jumawa yang pernah kutahu. “Sebelum aku bicara, aku ingin kamu mengatakan dengan jujur.”
“Abang kenapa sih? Ada apa? Jujur? Apa maksudnya?”
“Jangan pura-pura bodoh! Aku yakin kamu nggak amnesia! Sialan! Kamu bahkan telah menipuku!”
Kali itu aku telah benar-benar mengalami kiamat kecil dalam hidupku. Jantungku kembali berdetak tak beraturan. Aku berharap jantung ini tidak lagi berdetak dan mati saat itu juga. Aku yakin apa yang dikatakan Yuda barusan adalah tentang masa laluku. Entah bagaimana caranya dia tahu hal itu. Dari mana dia tahu? Jika dia tahu dari seseorang, siapa yang memberitahunya?
Tapi itu hanya dugaanku. Aku masih punya kesempatan untuk melanjutkan aksi ‘sok tidak tahu ini. “Aku benar-benar nggak ngerti, maksud Abang itu apa?”