Ibu menghela napas panjang. Dia kemudian menuntunku untuk duduk di tepian ranjang. Kami duduk bersisian dan Ibu menatapku lekat-lekat. Dia masih memintaku untuk bicara. “Ayolah bicara sama Ibu. Ada masalah apa antara kamu dan suamimu itu.”
Aku tidak mampu untuk berkata-kata. Aku juga tidak mampu untuk menatap mata Ibu mertua yang memintaku bicara tentang apa perkara yang membuat aku berselisih dengan Yuda. Aku sendiri masih bingung dari mana lelaki itu tahu semua masa laluku. Bahkan aku belum sempat menanyakannya, lelaki itu sudah pergi begitu saja. Aku melempar pandangan ke luar jendela dan mendapati malam semakin kelam dan sepi.
“Nak, kamu nggak mau bicara sama Ibu?”
Lagi-lagi aku kembali terisak. Isakan paling pedih yang pernah aku rasakan. Bahkan barangkali kepedihan ini lebih menyakitkan dari pada kepedihan yang aku rasakan ketika dipenjara. Tangan kanan Ibu mengelus pucuk kepalaku, sementara tangan kirinya menggenggam tanganku. “Apakah kamu menemukan Yuda berselingkuh dengan wanita lain?” Pada akhirnya Ibu sendiri yang mencoba menebak apa perselisihan yang ada diantara aku dan anaknya.
Aku menggeleng. Tidak mungkin lelaki sebaik Yuda menyeleweng dan menduakan hati. Dia terlalu baik. Bahkan mengingat hal itu membuatku semakin sakit dan merasa hina.
“Lalu apa masalahnya? Apa dia tadi menamparmu?” kemudian tangan Ibu menelusuri pipiku yang mulus dan mencoba mengamatinya, barangkali ada bekas telapak tangan anaknya tercetak di pipi sang menantu. “Tapi ibu sangat tahu perangai Yuda dan ibu yakin dia tidak pernah main tangan. Kamu tidak ditampar, kan?”
Lagi-lagi aku menggeleng pelan. Ibu betul, lelaki seperti Yuda tidak akan mungkin menampar istrinya, semarah apa pun dia.
“Apa kamu meminta sesuatu kepada dia, kemudian dia tidak mampu membelikannya, sehingga suamimu itu marah?”
Lagi-lagi aku menggeleng. Aku tidak pernah meminta sesuatu diluar kesanggupan Yuda. Sudah dinikahi dan dicintai saja sudah lebih dari cukup untuk wanita seperti diriku.
“Apakah kalian bertengkar hanya karena masalah kehamilan? Ayolah, itu bukan masalah serius. Yang penting kalian sehat dan saling menyayangi itu sudah lebih dari cukup.”
“Bukan karena itu, Bu,” sanggahku sembari menunduk.