Tak berapa lama setelah itu aku mendengar kumandang adzan subuh. Maka kudirikan shalat subuh terakhirku di rumah itu.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku pun membantu Ibu mengerjakan semua pekerjaan domestik. Karena Yuda belum pulang juga, maka menyapu, mengepel lantai dan mengisi bak air mandi digantikan olehku.
“Suamimu belum pulang juga?” tanya Ibu demi melihat aku yang susah payah mengisi bak mandi.
Aku menggeleng. “Belum?”
“Kemana dia?”
“Nggak tahu. Bu. Semalam dia keluar.”
“Coba kau hubungi. Dasar kekanak-kanakan. Ribut sama bini langsung kabur-kaburan!” gerutu Ibu sembari geleng kepala.
“Biarlah Bu. Nanti juga dia pulang,” timpalku kemudian.
Aku juga membantu Ibu memasak menu dan menatanya di etalase warteg. Setelah semuanya selesai, aku kembali ke rumah untuk mandi dan bersalin.
Aku tahu keputusan yang aku ambil sudah bulat dan tidak bisa lagi untuk dipikir ulang. Untuk yang terakhir kalinya aku menatap semua penjuru kamar. Setiap jengkal dari kamar tersebut telah memberikan kesan yang begitu dalam bagiku. Dulu kamar ini adalah kamar Yuda dan setelah ini akan kembali menjadi kamar Yuda. Bukan kamar ‘kami’ lagi.
Tatapanku terpaku pada ranjang yang telah kurapikan. Di pelupuk mataku terbayang bagaimana aku dan Yuda bergumul di atasnya dan memadu kasih. Aku masih bisa melihat bagaimana Yuda memanjakan diriku dan selalu membisikan kata-kata mesra. Dan setelah ini aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Barangkali nanti aku akan merindukannya. Sebagaimana seorang anak kecil yang merindukan eskrim setelah mencicipi eskrim untuk yang pertama kalinya.
Kutatap potret kami berdua yang dipajang di dinding kamar dekat cermin. Potret itu memperlihatkan senyum kami berdua. Senyum kebahagiaan di hari pernikahan. Dulu aku percaya bahwa setelah pernikahan itu kebahagiaan kami berdua akan langgeng sampai maut yang memisahkan. Aku juga masih ingat bagaimana Yuda membisikiku di pelaminan, “Rara, kamu adalah orang yang paling spesial dalam hidupku. Aku berjanji tidak akan pernah menyakiti dan menyia-nyiakan dirimu.”