Rasa rindu itu selalu menyeruak dan menghentak setiap kesadaranku. Aku tidak berbohong bahwa aku masih mencintai lelaki itu. Sampai kapan pun rasa cinta itu tidak akan pernah luntur. Kenangan manis itu tidak akan pernah terlupakan. Aku tidak pernah merasa dicintai dengan utuh seperti cara mencintai Yuda. Aku tidak pernah bisa melupakan belaian dan kata-kata manisnya. Dia tak pernah sekalipun menyakitiku secara fisik atau batin. Dia adalah lelaki ideal yang penyayang dan memiliki hati seluas samudera. Kecuali disaat dia tahu bahwa aku adalah seorang mantan pelacur, semua kasih sayang itu lenyap bak ditelan bumi.
Aku menggelengkan kepala. Aku sadar bahwa aku tidak mungkin melupakan semua itu. Aku hanya perlu mengalihkan pikiranku sehingga tidak selalu mengenang itu.
“Mbak,” tiba-tiba saja satu tangan menepuk pundakku. Aku menolehkan kepala yang sedari tadi menyender di kaca jendela. Aku bahkan tidak sadar bahwa sedari tadi aku menangis. Tanganku dengan kasar menyeka air mata itu. Kulihat seorang lelaki berambut ikal dengan wajah yang teduh yang duduk di sampingku. Tersenyum sembari menyodorkan tisu untuk menyeka air mataku.
Aku menerima tisu tersebut. Mengambil beberapa lembar dari dalam plastik pembungkusnya dan mengembalikan sisanya kepada lelaki berambut ikal itu.
“Sepertinya Mbak ada masalah ya. Jangan terlalu dipikirkan. Masalah akan hilang dengan sendirinya,” ujarnya dengan senyum yang menghibur.
“Terimakasih. Saya memang melankolis. Tadi baru berpisah dengan teman karib.”
Lelaki itu mengangguk. Seakan paham. “Tentunya sedih banget harus berpisah dengan sahabat karib, ya.”
“Yah, lumayan,” jawabku dengan senyum tipis. Kemudian kami kembali terdiam. Aku tidak ingin berbicara lebih banyak karena beban batin yang kutanggung. Pun lelaki itu. Tampaknya dia juga tidak tertarik untuk bicara denganku. Atau mungkin dia tidak ingin menggangguku disaat kondisi hatiku yang seperti ini.
Bis yang kutumpangi berhenti di tepi pasar kota. Biasanya bis akan berhenti barang setengah jam untuk menunggu bis penuh oleh penumpang. Area pasar memang selalu ramai dan akan banyak penumpang yang berdatangan di halte depan pasar tersebut.
Pada saat bis ngetem, maka kau akan menemukan lusinan pedangan keluar masuk menawarkan dagangannya kepada para penumpang. Biasanya, jika penumpang merasa bosan menunggu, mereka akan turun dan menghabiskan waktu dengan cara membeli kopi atau sekedar merokok di lapak-lapak warung kopi yang berada di sepanjang jalan pasar.
Lelaki itu pun melakukan hal yang sama. “Mau ikut turun?” tawarnya kepada diriku. “Biar aku teraktir makan jika kamu belum makan.”
“Oh, nggak. Terimakasih. Tadi saya sudah makan.”
“Baiklah kalau begitu.”
Aku lebih memilih tinggal di dalam bis dan tak ingin melakukan hal apa pun selain melamunkan nasibku sendiri.
Setengah jam berlalu dan seperempat jok di dalam bis sudah terisi oleh penumpang. Lelaki berambut ikal tadi pun sudah kembali dan duduk di sampingku. Para pedagang masih berlalu lalang menawarkan barang yang mereja jual. Diantara mereka menawarkan dengan setengah memaksa. Seorang pengamen masuk ke dalam bis lewat pintu depan, memainkan gitar sembari sesumbar. “Assalamualaikum, Ayah Bunda, para penumpang semua. Saya di sini ingin menemani perjalanan anda dengan satu dua lagu yang semoga bisa menghibur para penumpang semua.”
Kemudian dia pun mulai bernyanyi.