Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #59

Lelaki Jahanam dari Masa Silam

Kau tentu penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku bisa bertemu kembali dengan lelaki yang pada dasarnya adalah sumber dari semua mimpi burukku?

Baiklah, aku akan ceritakan seperti apa pertemuan kami yang tidak terduga itu. Jadi, aku menuruti saran Fina untuk membukukan kisah yang telah aku tulis. Jumlahnya sebanyak 65 bab. Satu kisah yang cukup tebal dan rumit untuk penulis pemula seperti diriku. Ada 400 halaman jika diformat menjadi buku. Beruntungnya Fina membantu semua urusan penerbitan itu. dari mulai mengedit, memberi saran dan masukan supaya kisahku semakin menarik, hingga kemudian mengirimkannya ke penerbit.

Dua bulan setelah itu, satu penerbit besar mengonfirmasi kepada kami bahwa novel kami akan diterbitkan. Aku menyebutnya novel kami karena Fina memiliki andil besar dalam penulisannya. Singkatnya, novelku resmi terbit dan beredar di seluruh jaringan toko buku. Hanya dalam waktu enam bulan, buku itu telah mejeng di rak khusus best seller dan menjadi perbincangan. Enam bulan sudah naik ke cetakan kedua. Aku benar-benar tidak pernah menyangka banyak orang yang menyukai kisah hidupku sehingga mereka rela membelinya.

Aku semakin tak percaya ketika Fina–yang tak lebih sebagai asistensku sendiri--mengabariku bahwa aku diundang untuk menjadi pembicara di acara bedah buku. Aku pikir itu sangat keren. Sejak saat itu, aku rutin mengisi acara bedah buku di berbagai kota. Aku juga semakin percaya diri. Kegiatan dan kesibukanku di dunia literasi telah benar-benar melupakanku dari semua kepedihan yang telah aku lewati di masa silam. Aku berangsur-angsur mulai melupakan sosok Yuda. Aku bahkan melupakan rasa cinta itu. Aku percaya bahwa berangsur-angsur aku bisa melupakan Yuda.

Aku masih ingat, waktu itu aku mengisi acara bedah buku di sebuah kota yang jaraknya kurang lebih tiga jam perjalanan dari tempat tinggal kami yang ada di daerah transisi. Acara bedah buku itu tepatnya dilaksanakan di sebuah toko buku yang berada di pusat perbelanjaan yang lumayan besar. Seperti biasa, Fina juga turut serta.

Seperti acara bedah buku pada umumnya, di sesi akhir akan ada acara book signing atau tanda tangan penulis. Semua pembaca dan fansku tampak antusias membawa bukuku dan berharap mendapatkan tanda tangan langsung dariku.

Aku duduk di kursi, sementara para peserta bedah buku mengular, membentuk antrian untuk menunggu giliran tanda tanganku terbubuh di halaman muka buku itu. Hingga pada tanda tangan yang entah ke berapa, seorang pembaca masih tetap berdiri meski aku sudah membubuhkan tanda tangan di copy buku itu.

Aku tentu saja heran sehingga mendongak untuk memastikan bahwa dia sudah bisa pergi. “Sekarang mas bisa pergi. Ada pembaca lain yang….” Tiba-tiba saja napasku serasa terhenti. Pun jantungku seakan tak lagi berdetak demi melihat seraut wajah itu.

“Ra,” ujarnya. Suara itu memperjelas semuanya. Suara yang mengingatkanku pada masa lalu yang telah berusaha aku lupakan mati-matian.

Aku terbelalak. Mulutku ternganga dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapanku. Dia ada di hadapanku dengan wajah tanpa dosa. Reza! Ingin rasanya aku berteriak dan menyumpahinya dengan menyebut semua jenis nama binatang di Ragunan. Ingin rasanya aku menjambak rambut gondrong itu dan meneriakinya sebagai lelaki pecundang.

Tapi aku sadar siapa diriku sekarang. Aku sadar, aku seorang penulis. Aku sadar aku berada di tempat keramaian dan sedang melakukan book signing di tengah ratusan orang.

Andai aku bisa, mungkin aku akan berteriak kepada semua orang, ‘Hai kalian para pembacaku. Tentu kalian tahu siapa Reza yang ada di dalam kisahku yang telah kalian baca. Inilah orangnya. Ini, sedang berdiri di hadapanku.’ Mungkin dia akan menjadi bulan-bulanan kebencian.

“Kenapa kamu di sini?” tanyaku sinis.

Aku melihat matanya berkaca. “Karena aku ingin meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang telah aku perbuat di masa lalu. Sepanjang hidupku aku telah ditimpa banyak karma karena dosa itu. Aku ingin bicara jika kamu ada waktu.”

“Maaf aku sibuk. Kamu tidak lihat masih banyak orang antri di belakangmu?” sergahku dengan tatapan sinis. Beberapa orang menatap kami dengan raut muka heran dan rasa ingin tahu.

“Baiklah. Aku tunggu kamu di kedai kopi samping toko buku ini,” pungkasnya dan berlalu pergi membawa buku yang mengisahkan tentang kebejatannya. Sungguh ironi, si pemeran antagonis itu justru membeli buku yang mengisahkan tentang kejahatan dirinya dan ikut mengantri untuk meminta tanda tangan dari korban kebejatannya di masa silam.

Apa dia tadi bilang? Dia menungguku di kedai kopi? Untuk apa? Untuk meminta maaf kepada diriku? Untuk memperbaiki sesuatu yang sejatinya tidak mungkin diperbaiki? Apakah dia punya mesin waktu dan akan memperbaiki kesalahannya? Berani-beraninya dia menyuruhku untuk mendatanginya di kedai kopi! Aku tidak perlu mengindahkannya, kan?

“Mbak?” ujar seseorang.

Aku tergeragap. Seorang fans menungguiku dengan alis berkerut. Satu copy novelku telah terhampar dan siap ditandatangani. “Oh, maaf.” Dengan gerak cepat, aku segera membubuhkan tanda tangan itu di bukunya. Aku baru menyadari jika tanganku bergetar hebat. Sampai-sampai tanda tangan itu tampak terlihat aneh.

“Terimakasih,” ujarnya semringah.

Kurang lebih setengah jam setelah itu, acara book signing telah selesai. Aku benar-benar lelah. Rasa lelah itu semakin menjadi karena aku bertemu dengan lelaki itu. Setelah acara selesai, aku langsung mendatangi Fina dan mengungkapkan apa yang terjadi padanya.

“Tadi aku ketemu sama si Reza,” bisikku. Suaraku bergetar. Begitulah. Nama itu selalu membawa efek yang mengerikan dalam hidupku.

“Dimana?” tanya Fina dengan sorot mata yang menajam. “Di acara bedah buku?”

Lihat selengkapnya