Pagi itu Bunda dan Ibu terlibat obrolan. Ibu menanyakan banyak hal tentang ayah. Aku hanya diam menyimak. Pun dengan Yuda. Lelaki itu tidak banyak bicara dan memilih untuk menjauh dengan cara duduk di beranda.
Tak berapa lama dia kembali masuk ke dalam. Memanggil namaku. “Ra,” ujarnya. Suara itu seperti gema yang muncul dalam halusinasiku. Mengingatkanku pada masa yang telah silam.
“Ya,” jawabku pendek. Mendongak. Menemukan wajahnya di ambang pintu.
“Aku ingin menengok kuburan ayah,” ujarnya. Aku terdiam. Apa dia bilang? Dia masih memanggilnya ayah? Ah, itu tidak salah karena memang ayah pernah menjadi mertua baginya. Toh aku juga masih memanggil ‘Ibu’ untuk mantan mertuaku sendiri. Bahkan aku menganggap Ibu sebagai ibu kedua untukku.
“Ya sudah, sana, antar Yuda ke pusara ayah,” ujar Bunda sembari mendorong tubuhku. Mau tak mau aku beranjak ke depan. Menemani Yuda menyusuri jalan setapak menuju pemakaman umum. Sepanjang perjalanan itu kami hanya banyak diam.
Setibanya di pusara, kami berdua berjongkok di samping makam ayah. Kulihat Yuda mengangkat tangannya dan berkomat-kamit. Berdoa untuk arwah ayah. Hatiku terharu dan tanpa bisa aku control, air mataku kembali berleleran. Sementara jemariku memainkan bunga-bunga kamboja dan bunga mawar yang sore kemarin telah kutabur disana. Bunganya sudah tampak layu dan kusut karena tertimpa hujan semalam.
“Kamu pasti sangat kehilangan ya, Ra,” ujar Yuda sembari menatapku.
Aku membuang wajahku ke hamparan sawah yang terbentang di samping pemakaman. “Ya, tentu.”
“Aku juga pernah merasakan kehilangan seperti yang kamu rasakan sekarang. Berbulan-bulan baru aku bisa bangkit dari kesedihan karena ditinggal Bapak. Yang sabar ya, Ra.”
Aku hanya mengangguk pelan. Setelah itu kami kembali pulang menyusuri jalan setepak yang tadi kulalui. Hanya saja, aku tidak hati-hati ketika menuruni jalan yang landai. Sisa hujan semalam membuat jalanan lebih licin dari biasanya. Ditambah dengan tanah berlumpur yang menyulitkan. Aku hampir terjengkang karena terpeleset jika tidak ada Yuda yang menahan tubuhku dari belakang.
Dia menahan tubuhku dengan kedua tangannya, kemudian berusaha membuatku berdiri kembali sembari berkata, “Hati-hati.”
Aku merasakan desir yang tidak asing di hatiku. Tapi aku berusaha tidak mempedulikannya.
Siang itu Yuda dan Ibu kembali pulang ke kota. Bunda dan Ibu berpelukan satu sama lain dan berjanji bahwa suatu saat mereka akan saling mengunjungi kembali terlepas bahwa mereka tak lagi terikat dalam hubungan perbesanan. Semua tidak ada yang berubah. Bunda dan Ibu masih akrab satu sama lain. Pun dengan diriku dengan Ibu. Ibu masih aku anggap sebagai orang terdekatku meski dia hanya sebatas mantan ibu mertua. Aku pikir aku cukup beruntung pernah memiliki ibu mertua seperti bu Hayati. Aku pernah melihat atau bertemu seorang perempuan yang berpisah dengan suaminya, kemudian justru setelah perpisahan itu menjadi bulan-bulanan permusuhan. Dan hal itu tidak berlaku untuk diriku.
Kecuali antara Yuda dan aku. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Meski aku tahu ada desir yang timbul ketika untuk yang terakhir kalinya aku melihat mereka pergi kembali ke kota.
Berbulan-bulan setelah itu aku tidak mendapatkan kabar apa-apa.
***
Saat itu aku tengah menyapu halaman depan yang dipenuhi oleh daun-daun jambu air yang berguguran. Setiap sore, angin yang berhembus dari arah sawah dan gunung sukses membuat halaman depan penuh dengan daun-daun kering yang berserakan. Sehingga setiap hari aku atau bunda harus menyapunya hingga bersih. Kadang aku berpikir untuk menebang pohon jambu itu sehingga kami tidak terlalu repot menyapu halaman setiap hari. Tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik lelah menyapu setiap sore daripada halaman kami terlihat gersang. Aku suka keteduhan. Lebih dari itu, kami juga bisa memanen buah jambu air sebanyak dua kali dalam setahun.
Saat itu aku hanya menunduk, menekuri jengkal demi jengkal tanah di bawah kaki. Sapu lidi itu bergerak seiring dengan gerak tubuhku. Aku tidak menyadari ada seseorang yang masuk ke area halaman dan tengah menatapku dalam diam.
Aku terus bergerak dengan ditingkahi bunyi sapu lidi yang beradu dengan tanah. Srek…srek…srek… Kemudian aku mendongak untuk menyeka dahiku yang berkeringat. Saat itulah aku menyadari kehadiran sosok itu. Sosok yang selama ini aku rindukan sekaligus berusaha aku lupakan. Sosok yang selama ini aku cintai meski telah menoreh luka di hati.
“Yuda?”
Dia tersenyum meski senyumannya terlihat kikuk. “Hai Ra, apa kabar?” Ada rona merah di wajahnya. Entah karena malu atau karena kecapaian karena harus berjalan ke sini dari jalan besar yang jauhnya sekitar satu kilometer dari rumahku.
Aku menghentikan kegiatan menyapu dan menegakan tubuh. “Baik, kamu sendiri gimana?”
“Baik,” jawabnya pendek. Dia tidak kuasa menatapku sebagaimana aku juga sungkan untuk menatap dirinya. Dulu kami begitu akrab satu sama lain. Dulu kami sering melontar canda tawa mesra. Sekarang, rasanya begitu aneh dan asing. Dia seperti makhluk dari luar angkasa yang tersesat di bumi. Dan aku baginya adalah sama. Kami bukan lagi siapa-siapa. Kami hanya orang lain.
“Bunda ada?”
“Ada. di dapur.” Jawabku pendek.
Setelah itu kami saling mendiamkan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Dia terlihat lebih bingung dariku.
“Oh iya, ayo masuk?” akhirnya aku mempersilakan dia masuk. Mendahului dia masuk ke dalam ruang tamu. “Mau minum apa?”
“Air putih aja,” jawabnya. Kemudian duduk di atas tikar pandan yang sudah kugelar. Sementara aku beranjak untuk menemui Bunda. Kudapati Bunda tengah sibuk mengulek bumbu kacang untuk karedok. Tadi pagi aku bilang pada bunda bahwa aku ingin karedok buatannya. Dan sore ini Bunda telah mengabulkan keinginanku itu.
“Bun, ada tamu,” ujarku.
“Siapa?”
“Yuda.”
“Sama Ibu?”
“Nggak, sendirian.”
Bunda mengerutkan kening. “Dia ada keperluan apa?”
Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu. Makanya, Bunda saja yang ke depan. Temanin Rara.”
Bunda menghentikan gerak tangannya. Dia simpan ulekan yang berisi bumbu kacang itu. belum terlalu halus untuk benar-benar dikatakan sebagai bumbu kacang. Bunda terlebih dahulu masuk ke ruang tamu untuk menemui Yuda, sementara aku menyiapkan air putih untuknya. Tak berapa lama, aku menyusul mereka ke ruang tamu.
Yuda mendongak ketika melihat aku datang. Kuletakan gelas berisi air putih itu di hadapannya. Dia mengucapkan terimakasih, dengan suara bergetar.