Kami berdua tiba di kota tepat setelah isya. Setelah itu aku dan Yuda mencari masjid untuk menunaikan shalat jamak maghrib dan isya. Setelah selesai, Yuda mengajakku untuk pulang terlebih dahulu ke rumah.
“Nggak langsung ke rumah sakit?” ujarku.
Yuda menggeleng. “Nggak mungkin langsung ke rumah sakit. Aku mau salin baju dulu. Memangnya kamu nggak mau mandi dan salin baju dulu?”
Aku hanya mengangguk. “Di rumah ada siapa?”
“Nggak ada siapa-siapa.”
“Kalau begitu nggak usah. Aku mau langsung ke rumah sakit saja,” pintaku. Aku tidak akan sudi harus berduaan dengan mantan suamiku di rumah itu. Meski kami pernah menjadi suami istri, tapi kami tahu bahwa kami bukan siapa-siapa lagi. Kami hanya orang lain yang tidak memiliki ikatan apa pun. Bahkan aku berpikir aku berangkat dengannya dan duduk bersisian di jok mobil itu sudah satu kesalahan yang seharusnya aku sesali.
Yuda tidak banyak membantah. Dia mengangguk kecil. Dia kemudian mengantarku ke rumah sakit untuk menemui Ibu. Dari terminal kami menyewa grab untuk bisa sampai ke rumah sakit.
Maka disinilah aku sekarang. Di dalam ruangan yang serba putih. Di hadapanku, sosok Ibu tengah terbaring lemah di atas ranjang yang berwarna putih pucat. Sementara selang infus menempel di pergelangan tangannya.
Dengan perasaan tak menentu, aku menghampiri Ibu. Memanggil namanya dengan suara serak dan mata berkaca. “Bu…”
Ibu masih terpejam. Aku melihat rongga matanya yang tampak semakin cekung. Juga wajahnya yang tampak tirus dan terlihat lebih tua. Inilah mantan ibu mertuaku, yang masih mencintaiku meski kami tak lagi terikat hubungan menantu dan mertua. “Ibu….ini Rara…” kugenggam dan kuremas dengan perlahan pergelangan tangan Ibu yang terasa lebih ringkih dibandingkan dengan terakhir kali aku bersalaman dengannya.
Perlahan mata Ibu mengerjap dengan lemah. Matanya terbuka. Sayu. “Ra….akhirnya kamu datang juga.”
Aku tidak mampu menahan tangis dan rasa haru yang menyeruak. Kupeluk Ibu dengan isak tangis. “Maafin Rara, Bu. Rara baru tahu Ibu sakit.”
“Iya, nggak apa-apa, nak. Ibu senang kamu bisa datang.” Tangan Ibu mengelus kepalaku dengan kasih sayang yang purna. Aku melihat matanya basah. Mataku juga ikut berkaca.
Aku tidak tahu jika Yuda terisak di belakangku. Aku tidak tahu jika lelaki itu keluar dari kamar dengan langkah perlahan. Hanya untuk menyembunyikan tangis sesalnya di koridor rumah sakit. Sakit seorang lelaki yang menanggung beban cinta dan penyesalan.
Lelaki itu melemparkan tatapnya ke jalanan yang ramai oleh kendaraan bermotor karena memang berada di jam-jam sibuk orang pulang kantor. Tatapannya kosong, tapi basah oleh air mata. Dia tidak sanggup untuk melihat kedua wanita itu menangis dan berpelukan di hadapannya.
Yuda kembali masuk ke dalam ruangan ketika aku bersandar di samping ranjang Ibu. Ibu sudah kembali tertidur. Sementara tangannya yang ringkih masih menggenggam tanganku. Demi mendengar langkah kaki dari arah belakang, aku mendongak. Yuda tersenyum lebar ke arahku. Senyuman yang mengingatkan aku pada masa-masa dimana kami bersama. Sungguh, senyuman itulah yang selalu kurindukan sekaligus mengganggu malam-malamku.
“Ibu tampak senang dan bahagia bisa ketemu kamu,” ujarnya sembari menghampiriku. Aku mengangguk. Kemudian dia duduk di sampingku. Jarak kami cukup dekat. “Ibu tidak mungkin bisa melupakan kamu begitu saja.”
Aku hanya terdiam.
“Kamu pasti lelah. Lebih baik kamu istirahat di rumah saja. Biar aku yang jaga Ibu di sini,” pintanya sembari menepuk bahuku.
Aku menggeleng pelan. “Nggak. Biar aku aja yang nungguin Ibu di sini. Kamu aja yang istirahat. Lagian kan aku udah lama nggak ketemu Ibu. Mumpung aku di sini, kan? Aku Cuma ada waktu dua hari.”
“Ya udah kalau begitu. Kamu mau makan apa? Biar aku beli di luar buat makan malam.”
Aku hanya mengangguk.
“Kamu mau apa?”
“Terserah kamu aja,” jawabku pendek.
Yuda sudah hendak keluar ketika dia tiba-tiba membalikan badan dan berkata, “Gimana kalo kita makan di luar aja. Biar suster yang tungguin Ibu.”
Aku tadinya sudah ingin membantah karena tidak ingin keluar bersama lelaki itu. Hanya saja tepat pada saat itu ada perawat yang datang untuk visit pasien. Sungguh kebetulan yang sangat menyebalkan.
“Suster bisa jagain Ibu saya sebentar,kan? Saya mau makan malam sama istri, eh, sama dia,” ujar Yuda sembari menunjuk diriku.
“Sudah. Kalo kalian mau makan, makan saja.” Ternyata Ibu kembali terbangun dari tidurnya. Dia menatapku dengan tatapan sayu. “Kamu jangan telat makan, Ra. Dulu kan kamu suka ngeluh sakit lambungmu kambuh.”
Aku tersenyum haru. Dalam kondisi sakit pun Ibu masih memikirkan diriku. “Iya, Bu.”
“Ya sudah, kalian makan sana.”
Pada akhirnya kami keluar, menelusuri pinggir jalan sekitar rumah sakit untuk mencari pengganjal perut. Hingga pada akhirnya kami memilih nasi goreng untuk menu makan malam kami. Kami menemukan lapak nasi goreng yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
“Nasgornya dua, mang. Yang satu pedas, yang satu lagi nggak pedas plus nggak pake acar,” terangnya kepada si penjual nasi goreng yang langsung dibalas dengan acungan jempol si penjual.
Aku terkesan. Yuda masih ingat apa yang aku suka. Nasi goreng pedas.
“Abis ini nanti kita beli martabak sama telor gulung,” ujarnya lagi. Dengan senyum lebar.
Dia memang tahu semua makanan kesukaanku. Entahlah, aku memang tidak mungkin menyembunyikan rasa haruku saat itu. aku hanya mengangguk dan mengalihkan pandangan dari tatap matanya.
Duduk berdua bersama Yuda rasanya begitu aneh. Ini mengingatkanku pada masa-masa yang telah berlalu. Dulu, ketika kami masih bersama, kami sering keluar setelah isya hanya untuk menjajal kuliner pinggir jalan. Rasanya begitu asyik dan romantis. Dan kini kami mengundang kenangan-kenangan manis itu datang meski status kami bukan lagi pasangan suami istri.
“Katanya kamu sekarang sudah jadi pengarang ya,” ujar Yuda mengawali obrolan.
“Kok kamu tahu?”
“Tahu dari Ibu. Kan kamu juga ngirimin Ibu bukumu itu. Aku juga ikut baca. Aku nggak nyangka kamu bisa menulis buku,” ujarnya dengan nada bangga. “Padahal ketika kita hidup bersama, nggak sekalipun aku lihat kamu pernah menulis.”
“Alhamdulillah. Fina yang ngajarin.”