Kisah Yang Tak Akan Pudar

Rosidawati
Chapter #1

#1 Jatuh Korban



Haris suamimu membersihkan dua senjati api miliknya. Engkau datang meletakkan kopi sedikit gula kesukaan lelaki tiga puluh tiga tahun itu.

"Besok akan ada demo mahasiswa jangan keluar rumah jaga dirimu sayang," ujar suamimu lembut dengan tatap mesra, hal yang mungkin tak akan dipercaya orang, jika seorang tentara yang garang sewaktu bertugas di medan tempur akan semanis dan selembut Haris pada dirimu.

"Apa itu dampak dari kenaikan BBM yang telah diserukan Pemerintah?" Engkau menatap suamimu, ada rasa cemas di dadamu. Karena demontrasi identik dengan diterjunkannya aparat pemerintah, yang dilarang melawan rakyat dan hanya bertahan serta tujuannya mengamankan. Padahal disetiap demontrasi mahasiswa engkau tahu selalu saja setiap penyusuf membuat profokator dan juga memftnah seakan kerusuhan yang tercipta adalah bentuk perlawanan para pendemo.

Apalagi kali ini demontrasi yang akan diadakan oleh mahasiswa kabarnya besar besaran, karena bukan hanya mahasiswa di Jakarta saja yang akan unjuk rasa turun ke jalan menuju ke gedung pemerintah, tapi beberapa kampus di seluruh Indonesia aka berdemo.

Haris suamimu sebelum meneguk isi cangkir mengangguk, lalu menyesap tiga kali kopi buatanmu, kemudian berdiri untuk meletakkan dua pistolnya ke tempat dimana biasanya dia menyimpannya dengan teliti, dan di tempat aman di sebuah peti yang hanya dia sendiri yang tahu kode pembukanya.

Engkau termenung. Ingin menghubungi Harman ayahmu mantan akrivis yang masih saja sangat perduli pada sepak terjang para pendulang keadilan. Bahkan Harman masih sering menerima mereka yang memiliki keperdulian pada perekonomian rakyat kecil. Walau tak terjun langsung berorasi seperti dulu, namun ayahmu masih dianggap penyuluh oleh penerusnya.

Tapi keburu Haris muncul, sehingga engkau menutup keinginanmu itu.

"Setiap ada demontrasi setiap itu pula penyusup mendompleng, besok bukan saja polisi yang diturunkan, tapi tentara pun bersiaga di titik titik yang diperkirakan tempat demontrasi mahasiswa," suamimu memberitahu.

"Demontrasi serempak seluruh mahasiswa,"

"Semoga berakhir damai, ya," harapmu.

"Ya kita berdoa saja semoga bisa diatasi dan ada kesepakatan yang dicapai antara pemerintah dan mahasiswa,"

"Apa ada juga aktivis yang turun?" Engkau mengurungkan pertanyaanmu, karena hal itu mengingatkan pada ayahmu yang ditangkap beberapa belas tahun lalu, dijebloskan ke penjara karena dianggap telah menjadi sumbuh dari banyaknya demontrasi yang anti pemerintahan.

Dan mirisnya lagi penangkapan Harman waktu itu atas perintah ayah mertuamu yang waktu itu masih aktif sebagai Perwira Menengah dengan pangkat KOMPOL atau Komisaris besar polisi. Maka tak heran jika cinta mu pada Haris tak mendapat testu ayahmu. Namun cinta kalian yang besar tak bisa lagi dihalangi, membuat ayahmu berbesar hati dan berlapang dada, menerima walau dengan terpaksa kedatangan keluarga mertuamu yang merupakan orang yang menjebloskan ayahmu ke penjara.

Malam itu engkau melihat Haris seperti gelisah. Mondar mandir di kamar kalian. Tapi engkau mendiamkan saja kelakuan suamimu itu. Engkau sangat paham jika suamimu sedang memikirkan aksi demontrasi besar besaran besok yang akan dikawalnya.

Pagi pagi Haris sudah siap berangkat Sebelum meninggalkanmu dia berdiri dan menatapmu lekat.

Engkau mencoba memberi semangat dengan membalas tatapannya dan tersenyum. Harus pun membalas senyumanmu. Kalian sama sama tersenyum. Tiba tiba engkau memeluk Haris erat, tak seperti biasanya jika melepas suamimu untuk bertugas hatimu penuh dengan percaya diri. Tapi kali ini engkau seperti berat melepas lelaki yang sejak sepuluh tahun lalu sudah dekat denganmu. Karena kalian memang saling jatuh cinta selagi masih sama sama kuliah, walau pada tempat dan jurusan berbeda.

Engkau berkuliah di fakuktas Sastra Indonesia, sedangkan Haris kuliah di Taruna Akmil. Kalian berhubungan tanpa restu orang rua, terutama dari pihak ayahmu larangan keras itu datang, sedangkan Kompol Heriyanto ayahnya Haris bersikap lepas membebaskan Haris memilih pujaannya. Termasuk tak melarang hubungan Haris denganmu, walau pada akhirnya dia tahu siapa ayahmu.

"Pergilah Perwira hatiku, doaku menyertaimu, dan kembali dengan segera karena anak kita menunggu," engkau tersenyum menunduk mengelus perutmu yang sudah berisi cabang bayi, benih cintamu dengan Haris yang sudah memasuki bulan yang ketujuh.

Haris berjongkok mencium perutmu penuh perasaan, lalu mengelusnya dengan penuh cinta.

"Sayang semoga kelak kau menjadi anak yang berguna ..." gumam suamimu dan mencium bulatan perutmu yang membesar. Lalu dia mencium dahimu. Ah, engkau tak merasakan suatu perpisahan panjang akan terjadi pada kebersamaanmu dengan suamimu, yang engkau antar sampai depan rumah dengan tatap penuh cinta kasih

Lihat selengkapnya