Aku tidak terlalu lama melihat reaksi Sandi mendengar cerita ini. Karena setelah itu, masih ada yang harus kulanjutkan. Kisah ini harus tuntas hingga menemukan apa yang salah dengan Arif dan kenapa dia melakukan hal ini lagi. Aku berjanji akan menceritakan semuanya semampuku. Dan aku harap, Sandi mengerti dan paham dengan segala alur kisah ini.
***
Minggu ujian berlalu dengan baik. Aku yakin hasil ujian kami tidak akan mengecewakan sebab persiapan yang telah kami tempuh hingga di hari-hari ujian rasanya sudah cukup matang. Masa-masa setelah itu diisi oleh lomba-lomba antar kelas. Aku yang diminta untuk mengikuti beberapa kompetisi pun merasa cukup bersemangat dan tentu menerimanya.
Sebaliknya, Arif yang sedari awal tak begitu tertarik dengan hal-hal seperti ini awalnya sempat menolak tawaran dari teman sekelas. Namun, berkat bujukan dariku, akhirnya dia pasrah dan menerima juga. Sepertinya dia tak lagi sekaku dulu dalam hal beradaptasi. Ya, selama ada aku, akan kupastikan hal itu berlaku.
“Kamu pernah bertanya apakah kamu bisa menjadi seseorang yang ambisius dan pantang menyerah seperti yang akan kutulis. Selama ada aku di sisimu, akan kupastikan kamu bisa melakukannya. Dan beradaptasi dengan lingkunganmu adalah salah satu cara untuk melakukan itu. Ya, dipikir lagi, ini juga tidak begitu buruk untuk dijadikan kenangan. Siapa tahu nantinya kamu akan merindukan masa-masa seperti dan bisa mengabadikan kehangatannya dalam sebuah buku.”
Mendengar panjang lebar itu, Arif mengangguk sekilas dan tersenyum sepintas. Ia menerima semua tawaran yang diberikan dan berusaha menikmati sensasi gugup yang dihasilkan keputusannya itu. Hal ini juga agar ia tak terjebak rasa iri seperti pertama bertemu denganku menurutnya. Dan aku senang bisa mengetahui itu.
Permainan pertama yang kami lakukan adalah tarik tambang. Karena merasa bahwa ini pertama kali Arif bertanding bersama mereka, teman-teman sekelas terlihat banyak yang memberi semangat untuknya. Bukan yang seperti grup pandu sorak, hanya seperti para murid pria yang menepuk pundak Arif dan menyahut kata-kata semangat.
Arif tampaknya tak keberatan dengan hal itu dan justru terlihat makin semangat. Aku juga jadi semakin terbakar melihatnya. Alhasil, meski harus dengan perjuangan berat, kami bisa menang saat bertanding melawan murid dari kelas XII IPA-5. Itu semua tak terlepas dari semangat juang dan kekompakan yang dimilik tim.
Hingga pertandingan demi pertandingan berikutnya kami lewati, kulihat semakin banyak teman-teman kelas yang dapat berbincang lebih dekat dengan sosok Arif yang kini mulai berubah. Raut wajah laki-laki itu juga tampak makin hidup dan segar. Senyumannya juga tampak sangat alami saat mendengarkan kelakar teman-teman yang biasanya ia nilai dengan negatif. Ini sungguh sebuah perubahan yang amat baik bagiku.
Ditambah lagi dengan keberhasilan kami meraih juara dua dalam lomba tarik tambang ini, juara satu lomba lari kelereng oleh Sahrul, juara satu lomba makan kerupuk olehku, dan juara tiga balap karung serta lari estafet. Kedekatan kami menjadi semakin menyenangkan. Kekocakan tingkah tim saat bermain voli pun tak bisa dilewatkan. Ada-ada saja kejadian di lapangan yang berhasil mengocok perut kami.
Dimulai dari Sahrul yang menyervis bola mengenai kepala Didi yang membuat laki-laki itu meringis. Ada pula Rijal yang berlari layaknya profesional dan tak berhasil memukul bola saat hendak melakukan smes, wajahnya terkejut dengan polos sangat bisa membuat kami terbahak-bahak. Bahkan ada Ardian yang memantulkan bola pertama ke luar lapangan.
“Apa kita perlu membuat garis lapangan yang lebih besar lagi untuk Dubes Padu?” tanya seorang komentator berkelakar dengan mikrofon di tangannya.