Kisah yang Tak Bisa Dipercaya

Alif Mahfud
Chapter #1

01 - Kabar Buruk

Kadang, ada kisah yang tak bisa dipercaya. Boleh jadi karena terlalu indah. Boleh pula karena terlalu menyedihkan. (Alif Mahfud)

* * *

Kala itu masih di awal pagi. Aku tengah memasak nasi goreng sebagai menu sarapan. Suara pembaca berita di TV mengiringi pagi seperti biasa: sedikit berbisik, sangat menggairahkan. Sambil mengacak nasi yang tersenyum di atas wajan, telinga ini terus siaga untuk menangkap berita. Kata bulir-bulir menggemaskan siap makan ini, mungkin aku bisa mendapat inspirasi menulis dari hasil menguping. Ya, mereka benar.

Namun, hujan tiba-tiba turun. Mendung seketika menyeruak, menutupi sinar mentari yang sejak tadi berusaha menyapa lewat jendela apartemen. Sedikit kesal. Awal hari yang cukup menyedihkan, padahal aku berharap bisa menikmati mentari pagi sambil menyantap nasi goreng. Mungkin bisa sekaligus menyerap embusan ide dari mulut para pembaca berita. Ah, pasti akan sangat nikmat. Namun, ya, sudahlah! Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bila berpikir positif, setidaknya ini hanya pergantian suasana.

Akhirnya, nasi goreng pun siap disajikan. Segelas jus jeruk hangat sudah sejak tadi disiapkan. Kini tinggal disantap di depan layar televisi. Iklan langsung berhenti dan ditukar dengan siaran berita saat aku duduk di hadapannya. Sekarang, menghangatkan diri dengan nasi goreng panas dan segelas jus jeruk hangat adalah menu yang pas untuk mengisi pagi yang dingin ini. Aku pun hendak melahap sendokan pertama kala sebuah berita menghentikan segalanya. Menyisakan diriku yang mematung. Menyebut nama seorang teman, Arif Muhammad, yang tertangkap basah saat menikmati narkotika sendirian di apartemennya.

Namun, apa itu benar? Tak habis pikir bila dia akan melakukannya lagi. Apa yang membuatnya melakukan hal seperti itu berulang kali? Apa yang dulu itu tidak berarti apa-apa? Tidak, aku harus tetap fokus. Semoga yang tadi hanya salah dengar.

“Lama tak terdengar, apartemen Arif Muhammad digerebek polisi setelah mendapat informasi dari seorang pengedar yang tengah jadi incaran. Penulis trilogi laris berjudul Mimpi itu ditemukan tengah mengetik sebuah naskah dalam keadaan setengah sadar di dalam ruang kerja. Barang bukti berupa lima belas gram sabu-sabu beserta seperangkat alat isap ditemukan di atas meja kerja. Siang ini, penulis berusia 22 tahun itu akan menjalani serangkaian pemeriksaan medis serta kejiwaan ….”

Tak mau mendengarnya lagi, aku segera membuka ponsel. Mencari tiket tercepat menuju Depok, tempat di mana Arif hidup selama ini. Derap langkah menuntunku ke arah jaket kulit yang tergantung di dinding. Jaket yang sama dipakai Arif dalam berita tadi. Sebuah pengingat akan persahabatan kami dan aku akan ke sana untuk menunjukkan bahwa jaket itu selalu memenuhi perannya. Namun ....

Tok Tok Tok ....

Belum sempat keluar dari apartemen ini, suara ketukan menghampiri pintu. Membuatku sejenak terdiam. Apa aku ada janji hari ini? Sepertinya tidak. Kaki ini lantas melangkah mendekat ke arah sana. Mengintip melalui kaca lubang intip di pintu. Melihat beberapa orang pria dengan tubuh tegap di luar sana. Ada yang berseragam polisi dan ada juga yang hanya memakai jaket hitam biasa tanpa seragam apa pun.

Cklk ....

Aku membukakan pintu untuk mereka dan muncul dengan raut yang bisa dibilang, penasaran. Para polisi dan beberapa pria berjaket hitam itu berekspresi sangat dingin. Mimik mereka terlihat kaku, sangat sulit untuk dibaca. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka angkat bicara.

“Kami akan mengantar Anda ke tempat pemeriksaan.” Dia adalah salah satu pria bertopi khas dengan lambang abdi negara di kepalanya. Entah bagaimana mereka bisa tahu bahwa aku sedang berniat ke sana.

“Silakan ikuti kami!” ucapnya lagi kemudian berjalan lebih dulu membuat aku harus mengekori. Tangan ini reflek menarik pintu apartemen dan menekan tombol kunci otomatis yang ada di luarnya. Dua orang tidak berseragam masih berdiri menunggu hingga aku berjalan mengikuti pria berseragam tadi. Saat kulirik, wajah mereka masih dengan mimik yang sama, tak bisa dimaknai. Hanya kekakuan dan tatapan lurus yang amat dingin yang terpampang di sana.

Lihat selengkapnya