“Lalu, bagaimana kalian bertemu?” tanyanya lagi dengan raut penasaran dan mata yang dipicingkan. Tangan yang terhias arloji bersiap untuk mencatat, sementara bibir merah muda yang tampak tak teroles gincu terlihat agak mengetat membentuk senyum kerucut. Membuatku jadi bingung.
Kenapa perempuan ini terus bertanya dan tidak mempertemukanku dengan Arif? Ada apa juga dengan polisi dan orang-orang di luar sana? Mereka tak membawa Arif ke sini dan malah meninggalkanku sendiri. Bersama wanita ini?
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang sulit diajak bekerja sama. Namun, bila kondisinya seperti ini, di mana Arif sedang terpuruk di luar sana, semua akan terasa menggelisahkan. Jadi aku harus bertanya, “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya? Dan kapan saya akan dipertemukan dengan Arif? Bila ini bukan hal yang penting, tolong jangan sia-siakan waktu saya!” Dan ... itu membuat udara di sekitar terasa berat, membuatku sesak termakan emosi. Aku segera memelankan laju napas, tak mau menjadi terlalu tergesa.
Sementara Sandi, wanita ini terlihat agak terkejut. Namun, ia berusaha berlapang dada untuk ikut mengatur napas juga. Itu terlihat jelas dari dadanya yang membusung saat ia menarik napas. Aku sempat merasa bersalah melihatnya harus seperti itu karena amarahku. Namun, ini benar-benar tak bisa kukompromi karena sudah menyangkut Arif. Dia adalah sahabatku yang paling berharga. Hingga Sandi kembali bicara setelah berhasil mengatur napasnya.
“Kami akan mempertemukan Anda dengan Arif, tapi setelah ini, setelah Anda menjawab semua pertanyaan saya,” ucapnya dengan senyum lebar yang khas.
“Anda harus menjawab semua pertanyaan saya agar saya tahu apa yang menjadi alasan Arif melakukan ini pada dirinya sendiri. Kita perlu mengetahui itu agar kita bisa membuat formula tepat untuk merencanakan masa rehabilitasinya dengan baik. Mencari penyebab utama dan menanganinya adalah langkah utama yang sedang kami prioritaskan di sini,” katanya lagi dengan pelafalan yang cepat dan teramat fasih.
“Jadi, bila Anda berharap Arif segera sembuh dari semua ini dan kembali kepada Anda dalam keadaan sehat, saya harap Anda berkenan untuk bekerja sama dengan kami,” katanya lagi dengan nada yang kali ini: jauh lebih lirih dan meluluhkan. Aku menatapnya dengan mata yang rasanya mulai berkaca. Aku sangat berharap bahwa dia bisa mengembalikan sahabatku itu sesegera dan sepulih mungkin. Dan dia memberikan janji tentang hal itu dari senyum di bibirnya yang khas. Kuanggukkan kepala dan mulai siap menjawab semua pertanyaan seperti adanya.
Sandi lantas menampilkan senyum terakhir yang penuh semangat. Dia menanyaiku kembali dengan pertanyaan semula.
“Jadi, bagaimana Anda bertemu dengannya?”
***
Bima, Januari 2013