Saat aku mendengar pertanyaan itu, ditambah wajahnya yang dialiri genangan air mata, rasanya seperti ribuan kata yang dapat diucap telah menghilang. Aku hanya membuka mulut dan membiarkan semuanya berjalan tanpa kendali. Dan begitulah aku menjawab, “Aku datang kemari untuk mengikutimu. Kamu hampir membuatku menabrakmu. Dan, apa yang terjadi padamu? Kenapa berlari seperti itu di malam hari seperti ini?”
Wajah itu kembali menunduk. Sebuah kata terlontar mengisi kesunyian malam di dalam kelas yang gelap yang hanya terhias sinar dari senter ponselku.
“Bila aku membuatmu hampir menabrakku, aku minta maaf, tapi aku mohon jangan ganggu aku!”
Aku menggeleng, seolah dia dapat melihatku.
“Aku tidak akan pergi, tapi kamu boleh menganggapku tak ada.”
Dan dia kembali hening, hanya sedikit terisak yang semakin lama semakin terdengar menyedihkan. Pilu, membuatku tak tahan bila tak segera duduk di sampingnya. Mencoba menguatkannya dengan mengusap punggungnya. Memberi sedikit semangat dengan kata-kata tak jelas seperti, “Ada aku di sini. Kau boleh berteriak sesukamu. Menangislah kalau itu membuatmu sedikit lega! Aku akan ada di sini kapan pun kamu butuhkan.”
Perlahan kudengar suaranya semakin jelas. Dia kian terisak dan makin menjadi. Kali ini aku langsung merangkulnya dan dia tanpa berpikir langsung meraihku, merengkuh punggungku dengan begitu erat, seakan tak ingin lepas. Seakan kekuatan itu hanya ada padaku. Dia bahkan berteriak sambil menutupi mulutnya dengan jaketku. Berharap tak mengusik orang lain dengan tetap mengeluarkan bebannya sendiri.
Aku masih merangkulnya hingga kurasa ia mulai mengantuk setelah lelah menangis. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang. Sudah waktunya pulang agar tidak terlalu mengganggu tetangga.
Kubangunkan Arif yang benar telah tertidur, memberitahunya dengan lembut bahwa sudah waktunya kami pulang. Dia berusaha menyadarkan diri dan hampir berterima kasih saat aku memintanya ikut bersamaku. Mendengar itu, tampaknya dia sedikit berpikir. Namun, aku tak mau menunggu lama. Aku menarik tangannya dan mengajaknya keluar dari kelas ini.
“Kamu boleh menginap di rumahku kalau kamu butuh tempat menginap. Kalau mau pulang, akan kuantar.”
Dia terdengar diam selama aku menariknya menuju pagar tempat kami masuk tadi. Lalu sesaat sebelum kami memanjat, dia memutuskan. “Ya, aku akan ikut denganmu.”
Maka jadilah demikian, kami pulang ke rumahku. Sampai di sana, ayah dan ibu tampak biasa saja melihatku pulang malam dan membawa seorang teman. Mereka memang sudah yakin dengan didikan mereka dan aku juga tidak punya niat untuk menghancurkan itu. Selama yang kulakukan tidak melanggar aturan dan berpotensi mencoreng nama keluarga, selama itu pula toleransi dibuka sebebas-bebasnya oleh orang tuaku.
Dan tak terasa, pertemuan pagi tadi yang terasa cukup janggal, kini telah berakhir dengan kami yang berbagi tempat tidur berdua. Permulaan yang cukup baik untuk apa yang kuharapkan ke depannya.