“Ya, sepertinya akan berat bila aku harus menanggungnya. Apalagi kalau benar-benar sendiri. Tapi, hei, kenapa kamu tidak menulisnya saja? Kamu bilang ‘kan kamu suka membaca. Pasti kamu juga akan suka menulis. Aku juga begitu. Bagaimana kalau kita belajar menulis bersama? Mungkin dengan begitu akan ada orang lain yang terinspirasi oleh kisah yang kita tulis.”
Sejenak dia terdiam. Lantai musala terasa semakin hangat seiring meningginya matahari. Aku sesekali menyesap teh dinginku sembari menunggunya menjawab. Dan dia melakukannya.
“Ya, sepertinya bisa dicoba,” katanya pelan sembari sedikit tersenyum.
Rasa pahit manis teh di dalam lidahku terasa semakin jelas dengan jawaban itu. Dan aku mendukung bahwa mungkin dia bisa berbagi beban itu dengan menceritakannya kepada orang lain. Lebih-lebih kepada khalayak ramai. Barangkali dia bisa mendapat nasihat yang membangun dan sebagainya.
“Bahkan tentang yang semalam, kamu juga bisa menuliskannya kalau kamu mau!” sahutku benar-benar semangat. Dia melirik dengan alis terangkat. Wajahnya memerah menahan tawa.
“Bilang saja kamu penasaran. Tidak perlu beralibi dan memintaku menuliskannya,” katanya dengan senyum meremehkan. Aku pun segera mendorong kepalanya dan menggumamkan serangan balasan kepadanya.
“Terlihat pendiam, tapi pintar menjatuhkan orang!” Dan dia pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Dan kami hanyut dengan saling mendorong kepala lawan sambil mengucapkan senjata-senjata yang bisa kami ucapkan.
***
“Dan begitulah, sampai sekarang, saya tidak tahu apa yang terjadi padanya malam itu,” jawabku membuat Sandi mengangguk-angguk.
“Tapi Anda tentu bisa menebak, kan, kira-kira apa yang terjadi dengannya malam itu?” tanyanya. Kali ini aku yang dibuat mengangguk-angguk.
“Ya, sepertinya itu berkaitan dengan keluarganya. Mungkin semacam jenuh dan kesal dengan yang terjadi di rumahnya. Dia hanya seorang remaja saat itu dan tak semua orang adalah pribadi yang kuat,” tambahku menjelaskan. Sandi sekali lagi mengangguk-angguk.
“Sekarang kita masuk ke pertanyaan selanjutnya,” katanya lantas melanjutkan pembicaraan.
“Menurut Anda, kira-kira, apa yang membuat Arif sampai melakukan hal-hal yang bisa disebut nakal seperti ini?”
Sungguh, itu sebuah pertanyaan yang sangat ingin kujawab. Dan tanpa tunggu lama, aku menyesap sedikit air putih di dalam ruangan itu layaknya aku menyesap teh hangat. Setidaknya, hanya untuk membasahkan kerongkongan saja. Ya, walaupun aku tidak tahu sejak kapan air itu berada di atas meja. Aku bahkan tak sadar bila ada yang datang meletakkannya di sana.
***