Setelah hari itu, keesokan harinya, aku tidak mendapati Arif menghadiri kelas, bahkan hingga pelajaran pertama selesai dan seterusnya. Aku mencoba menanyai yang lain tentang hal itu. Berharap ada yang tinggal di dekat Arif dan tahu kenapa dia tidak datang hari ini. Setidaknya, aku berharap bahwa itu bukan karena ulahku kemarin.
Sayangnya, seiring berembusnya angin kencang, makin kencang pula gelengan kepala anak-anak yang mengaku tidak tahu. Mereka hanya menyarankan untuk langsung mencari tahu ke rumahnya. Dan sepertinya itu memang pilihan terbaik yang ada karena ponsel Arif tak bisa dihubungi.
Dengan demikian, setelah sekian lama hanya mengantar dan menjemput Arif tanpa pernah masuk ke rumahnya, aku pun kali ini mencoba memberanikan diri untuk memasuki rumah itu. Membuka gerbang yang tak dijaga. Melihat rumah besar dan tinggi dengan nuansa cat yang membuatnya tampak tua. Ditambah semak-semak yang agak tak terawat di kanan kiri.
Setelah beberapa kali mengadu jemariku dengan papan pintu jati yang keras, akhirnya dari dalam sana dapat kudengar sebuah kaki sedang melangkah untuk mendekat. Saat orang itu membuka pintu, dapat kurasakan aroma parfum yang begitu maskulin dari tubuhnya. Tampaknya orang ini begitu memperhatikan penampilan. Itu terlihat jelas dari setelan kemeja rapi dan celana panjangnya. Sayangnya, dia tidak terlihat begitu ramah di mataku.
Laki-laki berusia sekitar dua puluh tahun itu bertanya tentang keperluanku dan kujawab dengan jelas bahwa aku sedang mencari Arif ke sini. Kulihat raut wajahnya tampak malas saat aku mengatakan itu padanya. Maka lantas ia menjawab dengan cepat, mungkin agar aku pulang lebih cepat. Namun, sepertinya, berprasangka seperti ini bukanlah ide yang baik bagiku.
“Arif sedang di rumah neneknya, di luar kota. Mungkin akan pulang setelah beberapa hari lagi. Seminggu mungkin?” jawabnya tidak terlalu yakin. Dia juga masih tetap berdiri di depan pintu tanpa berbasa-basi, sedikit pun. Tanpa mengajakku masuk atau sekadar menawarkan minum. Namun, ya, sudahlah. Mungkin sudah karakternya. Maka aku pun langsung berpamitan pulang karena tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Kulihat dia mengangguk segera. Dan belum sampai aku di depan gerbang, dia sudah menutup pintu rumahnya kembali. Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana canggungnya Arif kalau membawaku ke rumahnya ini.
Maka selama seminggu setelahnya, hari-hari biasa kulalui dengan begitu tak bersemangat. Rasanya seperti aku masih bersalah pada Arif. Seperti benar-benar telah melakukan kesalahan besar dan tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Hingga pagi itu, di sekolah, ditemani hujan gerimis dengan angin yang agak kencang meski stabil, aku menemukan Arif sudah lebih dulu berada di dalam kelas. Tertidur di bangkunya.
Dengan segera aku melangkah ke sana dan duduk di sampingnya. Namun, Arif tampak tak terusik. Dia masih menutup mata sambil menempelkan wajahnya ke meja dialasi jaket hitam tebal yang lembut. Aku pun beberapa kali mencoba mengguncangkan bahunya, tapi dia tidak bereaksi. Kuajak bicara, apalagi. Jadi, kuputuskan saja untuk membuat sebuah surat dan kumasukkan ke dalam tasnya.
Maka hari itu pun berlalu dengan aku yang tak bisa mengajaknya bicara sedikit pun. Bahkan setelah ia sadar karena ada guru yang masuk atau saat di kantin dan berjalan pulang. Dia sama sekali tidak menghiraukanku. Ya, aku hanya bisa berharap pada surat kecil itu.
Dear My Friend,
Maaf, kemarin mungkin aku terdengar kasar. Tapi aku tidak berniat menyalahkanmu. Aku hanya ingin berkata bahwa, mungkin cara pandangmulah yang terlalu tinggi. Sementara, di luar sana, tak banyak orang yang punya cara pandang seperti kamu. Mungkin saja kamu hanya terlalu inovatif, terlalu kreatif dan itu jauh lebih maju dari kebanyakan yang ada. Sehingga ketika orang-orang membacanya, mereka merasa asing. Tapi aku tahu, cepat atau lambat, kalau kamu terus berusaha, orang-orang pasti akan mulai terbiasa dengan caramu. Dan boleh jadi kamu akan membawa tren baru nantinya. Jadi, aku mohon, ayo kita kembali menulis bersama. Aku cukup kesepian bermain tanpamu.