Kisah yang Tak Bisa Dipercaya

Alif Mahfud
Chapter #6

06 - Bahkan Aku Ingin Mengumpat

Seperti yang Arif katakan, kisah ini memang baru dimulai. Karena sejak ia mendapatkan satu keberhasilan itu, dia menjadi semakin bersemangat untuk menulis. Ditemani batu-batu kolam, air pancur, aroma laut, beceknya pasar bawah, hingga daun-daun yang berguguran, dia terus menulis dan menulis. Dan dengan segala dedikasi itu, dia berhasil mendapat tempat dalam berbagai kompetisi.

Kami pernah menulis tentang ikan kolam. Aku menulis tentang kebahagiaan mereka karena tak perlu merasakan kerasnya kehidupan bawah laut atau buasnya predator di air tawar. Dan Arif menulis tentang seekor ikan yang pura-pura mati agar dikeluarkan dari akuarium. Ikan itu merasa lebih baik mati dimakan daripada hidup terperangkap dalam kaca kecil seperti itu. Karena si ikan merasa jiwanya ingin berenang lebih jauh, melawan arus dan alam yang lebih hidup dari sekedar kubangan palsu.

Kami pernah menulis tentang matahari dan bulan. Kubuat Matahari itu suatu hari menangis karena bulan ingin pergi darinya. Bulan berkata pada Matahari bahwa dia ingin menghilang karena mungkin, mereka selalu dibandingkan. Namun, Matahari tak bisa menerima itu. Karena tanpa Bulan, ia takut manusia akan terlalu berharap padanya. Takut bahwa manusia akan membenci malam yang gulita dan selalu bergantung padanya. Yang mana aku ingin mereka tahu bahwa tak ada yang sia-sia dalam hidup ini.

Sedangkan Arif punya yang sedikit lebih menakutkan. Suatu hari di mana Matahari pergi dan Bulan tersenyum sinis pada Bumi. Seakan menghitung dalam beberapa detik, Matahari meledak diikuti Bulan yang berubah jadi abu. Bumi mematung dan bertanya kenapa dia masih ada di langit sementara tak ada yang menemaninya di sana. Hanya ada manusia yang merusak dirinya. Maka dia melayang melewati orbit dan membakar dirinya dengan sisa ledakan Matahari yang masih begitu panas. Semua itu terjadi setelah selama berhari-hari mereka mendiskusikan tentang keberadaan Tuhan.

“Maka siapa yang perlu kau sembah saat kau tak lagi ada?”

Dia mengatakan itu sambil tersenyum. Jujur, kurasa itu cukup mengagumkan bagaimana dia berpikir dan mengabstraksikannya menjadi hal-hal yang tidak realistis. Namun, sayang, bagaimanapun aku menyukai tulisannya, dia tak pernah mengalahkanku. Sebagus apa pun idenya, entah kenapa, bila ia menempati 3 teratas dan aku ikut bertanding, dia akan selalu berada di bawahku. Dan itu membuatnya bergumam pada suatu hari di bawah belaian angin musim panas di rumahku.

“Kenapa aku tak pernah menang darimu? Apa masih ada yang salah dengan tulisanku?”

Saat itu aku hanya bisa menggeleng kecil. Menyatakan bahwa aku tidak tahu apa jawabnya.

“Tapi bila ingin mencoba, kamu bisa mengikuti lomba terbaru antar SMA di kota kita,” kataku menunjukkan poster Lomba Cerpen pertama yang pernah kutahu di kota ini. Dan itu khusus untuk murid SMA. Dan aku yakin Arif akan mau melakukannya, lebih-lebih karena aku tak akan ada di sana karena harus fokus pada proyek novel pertamaku.

“Tanpamu?” tanyanya memastikan.

“Tanpaku.”

Kuberikan senyum terbaik kepadanya, berharap dia menjadi sangat bersemangat. Dan, ya, dia menjadi sangat bersemangat. Dia bahkan berkata bahwa dia akan mencobanya tanpa meminta saran dariku. Ia ingin mencobanya sendiri. Tanpaku. Benar-benar tanpa aku.

Lihat selengkapnya