Kisah yang Tak Bisa Dipercaya

Alif Mahfud
Chapter #7

07 - Perubahannya

Arif menatapku dalam dengan langkahnya yang semakin mendekat. Aku yang bingung harus berkata apa hanya menampilkan senyum kaku setengah tegang ke arahnya. Aku juga merasa begitu terintimidasi olehnya. Dan itu membuatku sangat bersedih. Tak ingin rasanya bila jadi seperti ini.

Namun, Arif tak bisa berhenti. Dia masih melangkah hingga wajah kami berhadapan dengan jarak cukup dekat. Tatapan matanya masih menusuk ke arahku. Dan aku masih terdiam kaku dengan senyum yang setengah tegang.

“Minggir!”

Arif melewatiku dan mengambil tasnya dari sang kakak yang sedikit terdorong ke belakang oleh tangannya. Laki-laki itu tak hanya menjadi bengis dengan tatapannya kepadaku. Ia juga memperlakukan kakak perempuannya dengan tidak sopan. Aku pun hanya bisa mengikuti bahu pria itu dengan hati yang mencelos ngilu. Antara bingung dan merasa sedih dan bersalah. Aku tak paham tepatnya apa.

Perempuan di depanku ini pun kini terlihat menggigit giginya sendiri dengan gusar. Namun, saat tatapannya bertemu denganku, kulihat dia mencoba mengguratkan senyum untuk mencairkan suasana. Aku membalasnya dengan senyuman yang sedikit lemah. Hingga ia kembali berterima kasih dan pamit untuk kedalam dan menutup pintu.

Aku sejenak tak langsung pergi. Kudengar perempuan itu kemudian melangkah menjauh dan berteriak memanggil nama Arif di dalam sana. Aku tak mau mengira-ngira apa yang terjadi di dalam sana. Namun, tetap saja, aku yakin mereka akan terjerat pertengkaran. Dan itu membuatku lagi-lagi harus mengeluarkan napas kencang.

Ditemani angin musim panas di hari yang menuju sore, aku melajukan motor dengan pelan untuk kembali ke rumah. Berharap sesampai di sana, bisa menceritakan semuanya pada ibu dan mendapatkan nasihat dari beliau. Akan sangat melegakan bila bisa mengatasi masalah ini secepat mungkin. Setidaknya, aku tak harus terjerat perasaan bersalah dan terpukul ini. Tak mau.

Sampai di rumah, seolah mendapat kontak batin, ibu sudah tersenyum menyambutku di depan pintu rumah. Beliau memegang nampan berisi segelas susu putih dan beberapa biskuit di atas piring putih. Dengan senyum yang tak berhenti, kakinya melangkah ke balai-balai dan mulai duduk menungguku di sana. Lantas aku mempercepat langkah.

Kehangatan ini sangat memanjakan diriku. Seolah merasakan kasih sayang tiada henti hingga aku lupa pada permasalahan yang sejak tadi menjerat isi kepala ini. Malam itu, aku bahkan lupa tentang masalah Arif. Fokus pada kasih sayang kedua orang tua dan menulis kisah yang kuharap bisa dirasakan orang lain sepertiku. Kisah yang akan menjadi novel pertama dalam hidupku, semoga.

***

Sandi terlihat masih mencermati isi kisahku. Sementara aku hanya tersenyum kecil sambil berharap dia bisa memaklumi kebiasaan penulis sepertiku yang suka bercerita dengan gaya sendiri yang mungkin juga terlalu melebar dan cukup membosankan. Namun, sejauh ini aku tak merasa bahwa dia keberatan dengan panjangnya kisah yang kuceritakan.

Seperti sekarang ini. Dia malah membalasku dengan senyuman. Dan seolah paham akan alasanku menjeda cerita. Dia segera menunjuk tangannya, mempersilakan agar aku menikmati biskuit yang sudah tersedia di atas meja. Lagi-lagi, aku terlalu hanyut dalam cerita hingga tak memperhatikan orang yang masuk ke ruangan ini.

Yang kini kulakukan hanya menyesap air putih di depanku sambil kemudian menggigit dan mengunyah selembar biskuit yang cukup manis dan memuaskan rasa laparku. Sandi yang melihatku begitu menikmati makanan ini terlihat ingin ikut juga. Ia pun mengambil selembar yang ada di piringnya dan memotongnya jadi dua. Lalu melahapnya sambil tetap tersenyum kepadaku.

Kini, aku siap kembali melanjutkan cerita kami. Cerita tentang bagaimana Arif perlahan berubah sejak masalah kami pada hari itu.

***

Lihat selengkapnya