Sandi menyipitkan mata. Ia memusatkan fokus pada apa yang aku ceritakan. Sebuah pena elegan masih betah menemani gerak tangannya yang meliuk-liuk mencatat setiap kata menarik yang keluar dari mulutku. Hingga saat ini, aku menceritakannya sebuah kejadian di mana Arif mencekik dan memukulku.
“Apa saat itu Anda tidak berniat membalas dan sebagainya?” Sandi bertanya dengan wajah yang terlihat penasaran. Wajah wanita yang semula selalu penuh dengan senyuman itu kini tengah mengerut penasaran. Namun, tetap, lebar senyumnya masih khas menghiasi wajah. Dan aku siap menjawab.
“Untuk apa saya membalas? Toh, dia sangat dikuasai oleh amarah. Tak seharusnya saya membalas. Karena dia akan menjadi lebih parah.”
“Lalu? Apa yang Anda lakukan setelah itu?” Dia bertanya lagi.
Aku menggariskan senyum ringan sambil mendengus santai. “Tak ada. Saya hanya pulang sambil berpikir bahwa hari ini, dia sedang tidak bisa diajak berkomunikasi. Mungkin besok, lain kali atau lain hari lagi.”
“Jadi Anda pasrah?” Dia kembali bertanya.
“Tidak juga. Saya menunggu waktu yang tepat. Karena dia punya emosi yang sulit ditebak. Namun ...,”
“Namun?”
Aku meluruskan pandangan yang sempat menunduk ke arahnya.
“Saya hampir kehilangan waktu yang tepat itu,” kataku sambil tersenyum kepadanya.
***
Sehari setelah kejadian sore itu, Arif masih tak masuk sekolah. Aku mungkin lupa menyebutkan bahwa pada saat pertengkaran kami terjadi, dia masih mengenakan seragam sekolah. Itu menunjukkan bahwa dia berangkat, tapi tak sampai ke sekolah. Mungkin, hari ini juga sama. Dan menyadari itu, aku merasa bahwa waktunya masih belum tepat untuk aku menghampiri pria itu.
Lagi-lagi, aku memilih menghabiskan waktu dengan kehangatan ayah ibu di rumah. Lalu fokus melanjutkan kisah-kisah di dalam novel. Sesekali bermain gim untuk melepas penat. Dan tentu, melaksanakan semua tugas yang harus kulaksanakan. Seperti pekerjaan rumah.
Hari berikutnya, akhirnya aku bisa menemukan Arif kembali bersekolah. Seperti saat dulu pertama kali kami ‘bertengkar’, kali ini dia juga datang lebih awal dan sudah tertidur di bangkunya. Aku yang mendapati itu hanya tersenyum sambil tidur sepertinya, saling berhadapan karena dia tidur menghadap ke arah bangkuku.
Lalu pelajaran dimulai, dia tak bangun-bangun hingga aku terpaksa harus campur tangan untuk membangunkannya. Dia melirik ke arahku dengan mata sipit agak kemerahan dengan lingkar hitam di sekelilingnya. Aku berani jamin, dia terkena insomnia karena semua masalahnya. Ya, hingga ia tiba-tiba mengangkat tangan dan meminta izin cuci muka kepada Pak Hamdan yang baru masuk. Izin pagi-pagi membuat aku tak bisa ikut izin juga. Pasti Pak Hamdan akan curiga bila aku melakukannya.
Begitulah, dia kembali ke kelas setelah mencuci wajahnya. Kini, tampilannya terlihat sedikit segar dari yang sejenak terlihat sangat suntuk dan membuat orang lain ikut mengantuk. Sayangnya, dia seperti masih tak berniat untuk berkomunikasi lagi denganku bila dilihat dari caranya fokus pada pelajaran Pak Hamdan sambil sesekali mencoret-coret bukunya. Namun, itu bukan hal besar. Ia kembali ke sekolah saja sudah cukup menyenangkan bagiku.
Lantas setelah bel istirahat berbunyi, aku hanya mencoba mendekatinya dengan cara yang cukup pasif. Mengikutinya ke mana pun dan apa pun yang ia lakukan. Setidaknya, sebagian besarnya demikian. Seperti saat teman-teman mengajak kami ke kantin, aku menyuruh mereka pergi lebih dulu dan memilih diam di kelas bersama Arif yang kembali menidurkan diri.
Saat ia tidur, aku juga ikut tidur tanpa mencoba berkomunikasi dengannya. Lalu saat dia membuka mata dan menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku masih berusaha memberikan senyum terbaikku dengan harapan agar ia tergoda dan meluluhkan amarahnya. Sayang, ia mencoba menghindar dengan bangkit dan menuju ke toilet. Aku tak ikut ke dalam, hanya menunggunya di luar.