Hari sudah sore dan gelap. Aku bersama Arif memasuki rumahnya sambil tanganku merangkul pundaknya. Sepanjang perjalanan, ia sama sekali tak berbicara. Hanya aku yang beberapa kali memintanya untuk tidak melupakanku. Atau tidak membiarkanku melupakannya. Karena bila itu terjadi, aku sudah melanggar janji dan akan merasa bersalah.
Maka, kini, ditemani lampu remang di depan rumah, aku membiarkan Arif membukakan pintu untukku. Saat memasuki rumah itu, terlihat orang-orang yang sedang sibuk di ruang keluarga. Ada yang menonton TV, ada pula yang sibuk menyiapkan makanan di dapur. Lalu datang seorang perempuan yang terlihat lebih dewasa dari yang terakhir kali aku datang kemari.
“Enak sekali remaja gaul ini! Hidup bebas. Pulang pergi tak tahu waktu.” Dia berhenti saat aku menunjukkan diri yang semula tak terlihat olehnya. Raut wajahnya berubah. Ia menatapi kami bergiliran. Sementara Arif sudah mulai menajamkan pandangannya, terlihat seperti mulai termakan amarah.
“Selamat malam, kak, semuanya!” Aku mencoba menyapanya dan beberapa orang lain yang mulai memperhatikan kami.
“Saya Alif, temannya Arif” jelasku sebelum mendengar mereka melontarkan tanya tentang aku. Aku melihat raut wajah mereka hendak mempertanyakan itu.
“Oya, Alif. Baru pulang?” tanya perempuan itu agak berubah. Namun, mungkin dia sedikit menyindir dari kata-katanya. Entah kenapa, aku jadi berprasangka dan memandang mereka dengan kacamata negatif saat ini. Mungkin, ini karena Arif dan segala cerita yang ia berikan padaku. Aku jadi terpengaruh dan menyimpannya dalam memori.
“Mau mengantar Alif. Sekalian, mau mengabarkan bahwa-” Aku berpikir sejenak. Arif terlihat menunggu kata-kataku.
“Tidak jadi. Saya permisi pulang dulu. Rif, aku pulang, yah!” kataku sambil menepuk pundak Arif dan mendekati wajahnya untuk berbisik ke telinga pria itu.
“Aku punya ide lain. Baca pesan dariku nanti. Atau angkat saja teleponnya. Jangan katakan apa-apa dulu.”
Lantas aku kembali memamerkan senyum kepada seantero penghuni rumah dan beranjak menuju pintu. Lalu pulang menuju rumahku sendiri. Ah, rasanya di dalam sana sangat pengap. Terlalu ramai. Pantas saja Arif muak. Semoga aku bisa membantunya mengatasi segala masalah ini.
Setelah sampai rumah, aku pun mengirimkan pesan ke ponsel Arif dan menjelaskan apa yang telah kurencanakan. Aku berniat meminta bantuan orang tuaku untuk datang mewakili orang tuanya Arif. Kami mungkin bisa mengarang alasan bahwa kedua orang tua kami bersahabat baik atau orangtuanya Arif sedang di luar kota dan sebagainya.
Dari pesan-pesan singkat kami, dapat kurasakan bahwa Arif ragu untuk melakukan hal itu. Namun, aku terus meyakinkannya dan memastikan bahwa ayah ibuku siap melakukan semua ini untuknya. Aku memang sudah menjelaskan keadaannya kepada kedua orang tuaku. Mereka sendiri merasa bahwa itu hal yang benar untuk dilakukan demi menjaga kejiwaan Arif. Dan demi sopan santun, mereka hendak bertemu dengan orang tua Arif setelah masalah ini usai.
Esok hari pun tiba dengan cepat. Menjalani pagi seperti biasa dengan kasih sayang ayah dan ibu membuatku terus semangat untuk menuju sekolah. Sampai di sana, aku menemukan Arif yang tengah duduk menanti di emperan kelas. Kaki ini pun melangkah lebih cepat dengan senyum yang merekah.
Tiba di hadapan Arif, kusadari rautnya memang terlihat sedikit cemas. Sepertinya dia memang memikirkan tentang rencana kami dan gelisah akan hal tersebut. Maka, seperti kemarin, aku berusaha menenangkan dan meyakinkan laki-laki itu. Orang tuaku telah setuju dan mereka akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan masalah ini tanpa merugikan pihak mana pun. Hingga akhirnya dia pasrah dan memilih mempercayaiku.