Kisah yang Tak Bisa Dipercaya

Alif Mahfud
Chapter #10

10 - Rehabilitasi

Sandi terlihat diam di hadapanku. Dia berekspresi seperti terkejut, tak percaya dan takjub. Wajahnya bahkan terlihat imut dengan bibir dan hidung bagian kanan yang ditarik ke atas saking kagetnya mendengar ceritaku. Wajahnya yang cantik membuat aku jadi terkekeh. Dia terasa seperti ibu yang sedang terkejut saat aku berkata bahwa aku mendapat peringkat terendah di kelas. Ya, kurang lebih seperti itulah.

Maka setelah melihatku meneguk sedikit air yang hampir habis setengah, Sandi kembali menyadarkan diri. Dia pun kemudian menanyaiku tentang kelanjutan cerita tersebut. Maka, ditemani penerangan kecil di ruangan ini, aku melanjutkan.

***

Setelah menyampaikan kata-kata tak terbendung yang panjang nan lebar itu, aku segera mengucapkan maaf kepada para guru dan kepala sekolah yang mendengarnya. Ditambah dengan orang tuaku yang ada di hadapan mereka, para guru itu pasti sangat kesal dengan kelancanganku saat ini.

“Saya benar-benar minta maaf! Saya tidak berniat mengatakan hal itu semua. Hanya saja, pelajaran tadi cukup mempengaruhi saya.” Aku benar-benar kebingungan karena ucapanku sendiri. Bingung harus bagaimana lagi agar membuat para guru itu memaklumi kelancangan yang kulakukan.

Untungnya, ayah dan ibu yang melihat itu segera membantu.

“Ah, sepertinya anak kami belajar terlalu banyak di kelasnya. Kalau memang harus dihukum, sepertinya boleh juga menghukum mereka berdua dengan hukuman yang sama. Kami serahkan semuanya kepada Bapak Ibu sekalian. Arif, Alif, kalian tunggu di luar saja, yah!” Pinta ibu kemudian. Arif yang paham keadaanku sekarang segera bangkit dari duduknya sambil menunduk takzim dan menarikku berjalan ke luar.

Kami pun kemudian menghabiskan sedikit waktu dengan duduk di luar tanpa berniat menguping sedikit pun. Hingga ayah dan ibu serta para guru keluar. Mereka rupanya telah menyepakati hukuman yang akan diberikan dengan catatan bila kasus yang sama terjadi lagi, kami berdua akan dikeluarkan secara bersamaan dari sekolah ini. Aku pun menerima itu sebagai bentuk ketegasan dari sekolah tercinta. Yang tadi itu memang sudah salahku karena terlalu lancang, dan sepertinya aku harus merehabilitasi emosiku agar tidak ikut-ikutan seperti Arif.

Demikianlah kami menyelesaikan kasus itu. Ayah dan ibu mengingatkan untuk tetap hormat dan tunduk pada guru yang mengajar dan mendidik kami. Lalu para guru mengingatkan agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Dengan raut mereka yang kini terlihat santai, kami juga bisa santai dan setidaknya berharap bahwa mereka benar-benar paham akan kondisi kami sekarang.

Ya, karena setelah itu kami harus fokus dengan pelajaran di kelas, menjalani hukuman sepulang sekolah dan menjalankan program rehabilitasi agar Arif tak terpengaruh lebih-lebih menjadi candu pada minuman keras. Caranya dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat. Seperti berolahraga atau belajar menulis.

Arif sendiri sebenarnya belum kubolehkan untuk menulis, karena dia mungkin akan teringat hari-hari kemarin. Jadi, untuk sementara ini, kami fokus pada olahraga terlebih dulu. Ya, walaupun aku sendiri masih menulis dan, seringnya, Arif selalu menemaniku di saat seperti itu. Seperti saat ini.

Aku sedang menulis di bawah pohon mangga di rumah. Menyelesaikan beberapa bab terakhir untuk kisah dalam novelku. Novel yang kuberi judul “Tentang Cinta dan Kasih Sayang.” Berisi tentang kebaikan orang tua dalam hidupku. Berisi tentang bagaimana mereka menangis pada saat-saat tertentu. Atau saat-saat mereka tersenyum haru melihatku, entah kenapa.

Sementara Arif, saat aku menulis, dia hanya bermain senam lantai. Kadang mencium lututnya, kadang push-up, lalu sit-up, back-up, kayang, kadang melakukan gerakan-gerakan aneh di luar gerakan olahraga yang kukenal. Sesekali dia bertanya padaku. Sesekali aku menjawab, sesekali tidak karena harus fokus pada cerita di depanku. Lalu saat aku istirahat mengetik untuk beberapa saat, dia sangat antusias menyiapkan buah untuk kumakan. Memotong-motongnya dan menyerahkan padaku. Aku hanya terkekeh kecil melihatnya.

Kemudian dia bertanya-tanya, bila ia bisa mulai menulis nanti, sebenarnya, apa yang harus dia tulis. Aku, sembari mengunyah buah yang diberikannya, mencoba ikut memikirkannya. Apa yang bisa Arif tuliskan? Kenapa tidak menulis apa yang biasa dia tulis? Ah, bila dia gagal lagi? Apa yang akan aku lakukan? Apa yang akan dia lakukan? Apakah dia akan baik-baik saja? Atau dia akan benar-benar patah semangat? Aku tak bisa memberikan jawaban. Jadi aku mengalihkan pembicaraan.

“Bagaimana kalau selesai novel ini, aku menulis tentang kamu?”

Arif mengerucutkan bibirnya dengan raut masam. Melihatnya begini cukup lucu dan menggemaskan. Tapi sedikit aneh dengan kepribadiannya selama ini. Namun, ini bukan saatnya menilai itu. Karena dia sudah memberikan jawaban.

Lihat selengkapnya