Berdiri dari tempat duduknya, Kak Farhan berjalan menghampiriku. Aku sungguh gugup melihatnya, ingin rasanya lari saat itu juga, tapi aku sudah melakukannya sejauh ini. Lebih baik nyebur sekalian dibanding hanya basah. Aku memberanikan diri walau tangan dan kakiku gemetar. Kak Farhan sekarang berada di hadapanku, menatapku tajam.
“Siapa?” tanyanya pada Oki.
“Temen sekelas gue Kak, mau masuk nih dia kayaknya.”
Kak Farhan lalu memalingkan wajahnya melihatku, “Lo mau masuk?” tanyanya padaku dengan suara dalam.
Aku terdiam dalam senyum, terpesona melihatnya, lamunanku melayang kemana-mana.
“Woy,” bentak Oki membuyarkan semua khayalan indahku.
“Dasar botak,” umpatku dalam hati pada Oki yang memang tidak memiliki rambut.
“Mau masuk nggak?” tanya Oki menegaskan.
“Eh iya, iya mau,” kataku tanpa banyak berpikir lagi.
Kak Farhan mengulurkan tangannya datar, kami bersalaman sebagai tanda kalau aku diterima di tempat itu. Sejak saat itu, hidupku tak pernah hening lagi, setelah dilantik sebagai anggota, kami minum-minum untuk menyambutku sebagai anggota baru. Itu pertama kalinya aku mencoba minuman keras. Rasanya pahit dan panas. Kak Farhan yang berada di ujung sana membuang wajahnya saat aku menoleh. Aku tahu dia memperhatikanku namun dia menahan diri entah kenapa.
Hari demi hari kulalui dengan sangat berwarna, aku akan pulang malam karena ikut balapan motor, keesokannya kami akan tur keliling Jakarta atau bahkan luar kota. Aku begitu senang dan bahagia dengan pengalaman baru yang kujalani. Kadang aku dan Kak Farhan bertukar pandang, tapi aku tidak mau terlalu mendekatinya, melihatnya saja sudah membuatku senang.
Semakin lama diriku semakin dekat dengan Kak Farhan tapi semakin jauh dari sahabat-sahabatku. Mereka tahu aku bergabung dengan geng motor namun mereka menerimanya dengan baik, sampai,
“Eh ada tempat makan baru nih di Blok M. Jalan yuk,” ajak Gia padaku tapi seperti biasa, aku sudah ada kegiatan setiap pulang sekolah.
“Gue mau tur ke Bogor sama anak-anak. Lo aja deh berdua.”
“Lo masih nongkrong sama mereka?” tanya Andin sinis, “Hati-hati deh lo, geng-geng begitu bahaya. Biasanya mereka suka jadi kriminal,” tutur Andin tajam yang membuatku sontak marah.
Aku berdiri dari kursiku, “Kalau lo nggak suka nggak usah jelek-jelekin deh. Lo nggak tahu apa-apa.”
Andin pun jadi tersulut emosi, “Kok lo jadi belain mereka sebegitunya sih. Udah berapa kali lo setiap kita ajak kumpul nggak pernah mau. Lo berubah.”
Aku berdengus mendengarnya, ‘berubah?’ “Memangnya orang nggak boleh berubah? Lo kan udah gue suruh buat ikutan tapi lo pada nggak mau kan? Yaudah.”
“Jadi lo lebih milih sama mereka daripada sama kita teman lo dari SMP? Cuma gara-gara ada Kak Farhan di sana?” tanya Andin yang untuk beberapa saat berhasil membuatku berpikir.
Aku terdiam membeku, sedangkan Gia hanya biasa mengamati kami. Dia orang yang tidak berani berpendapat. Tapi kali ini dia tidak tinggal diam.
“Gue setuju sama Andin. Na, semenjak lo bergabung sama mereka. Lo jadi anak begajulan tahu nggak? Sering bolos, sering minum-minum, pulang malam. Bahkan ikut balapan liar. Gue nggak kenal lagi sama lo.”
Aku memutar bola mataku, “Terserah kalian mau ngomong apa. Gue akan tetap menjadi anggota mereka. Lagipula ini bukan pertama kali gue pulang malam, bokap nyokap gue juga sibuk jadi gue bisa bebas ngelakuin hal yang gue suka. Jujur aja ya, kalau sama kalian, gue tuh … bosen,” ujarku dengan kejam tanpa berpikir panjang.