Aku dibawa ke Kantor Polisi dan orang tuaku dipanggil. Sumpah demi apapun, ini seperti mimpi buruk. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan seperti ini. Teman-temanku yang lainnya dimasukan ke sel, hanya aku dan Kak Farhan yang duduk di depan meja polisi sekarang.
“Jawab, kalian pakai narkoba kan?” tanya Polisi itu tegas.
Kak Farhan kesal, “Nggak, kami tidak pernah memakai barang haram tersebut. Kami hanya suka berpergian naik motor. Itu saja.”
“Bohong kamu, itu minuman keras sebanyak itu. Dan kamu?” Polisi itu mengarahkan pandangannya padaku, “Kamu masih SMA kan? Berani-beraninya perempuan ikut-ikutan geng motor. Mau jadi apa kamu?” ucapnya menyinggung.
“Ck,” Kak Farhan berdecak kesal.
“Apa kamu?” tanya polisi tegas pada Kak Farhan, “Balap liar juga, kalian ini bikin masalah saja.”
Saat itu juga telepon masuk ke meja Pak Polisi, dia menerima telepon yang sepertinya penting. Dia lalu melihat Kak Farhan dengan tatapan menilai.
“Oh gitu, yaudah. Ok,” ucapnya sebelum menutup telepon.
Polisi itu kemudian menatap Kak Farhan dan bergantian menatapku. Tak lama berselang ayah dan ibuku datang. Aku malu sekali tidak bisa menatap wajah mereka. Aku membuang wajahku takut kalau mereka akan memarahiku di depan Kak Farhan. Aku disuruh menunggu di luar sementara orang tuaku berbincang dengan Pak Polisi. Satu jam berlalu aku diperbolehkan pulang entah bagaimana caranya aku tidak mengerti. Kak Farhan juga terlihat bebas berjalan keluar Kantor Polisi, aku lalu pulang bersama orang tuaku.
***
Plak…
Aku ditampar keras oleh ayahku sesampainya di rumah. Aku tertegun, pipiku terasa pedih sekali, rasanya sakit. Aku memegangi pipiku dengan tangan, air mataku mulai keluar perlahan.
“Kurang ajar kamu,” ucap Edi, “Malu-maluin papa, kamu sudah kelas tiga. Bukannya belajar untuk masuk Universitas malah ikut balapan liar nggak jelas,” Bentaknya.
Ibuku di sisi lain menyilangkan tangannya melihat yang terjadi, “Na, papa sama mama mau kamu mendapat pendidikan terbaik. Biar kamu bisa meraih cita-cita kamu, hidup enak, tidak diremehkan orang lain. Eh, kamu malah menyia-nyiakan semuanya,” Sambarnya bagai bensin.
Aku menyeringai mendengar ocehan mereka, “Cita-cita? Pendidikan terbaik? Aku nggak tahu apa cita-citaku, aku juga tidak memiliki harapan soal pendidikan. Aku tidak pintar seperti Shafia, seberapapun kerasnya aku belajar aku tidak bisa menyaingi anak kesayangan kalian.”
“Apa?” tanya Edi terkejut.
“Kalian hanya bisa menyuruhku untuk belajar dan belajar tanpa bertanya padaku apa yang aku ingin lakukan? Apa yang membuatku senang? Bagaimana dengan kemampuanku yang lain? Aku nggak suka belajar.”
“Luna kamu kenapa sih?” tanya ibuku heran.