Aku segera ke Rumah Sakit mengingat adikku yang akan dioperasi menunggu kehadiranku. Sampai di sana ternyata adikku telah dioperasi dan telah kembali ke ruang perawatan. Memang ada Bi Ismi yang menjaga di sana karena ibuku harus pulang tadi. Menunggu dengan sabar, aku ditemani Lucky yang membawakanku makanan dan minuman. Dia terkejut saat tahu kalau ibuku ditahan oleh polisi dan aku tidak tahu alasan sebenarnya.
Tiga jam setelah dioperasi, Shafia tersadar dan mulai membuka mata, “Haus,” ucapnya parau.
Aku langsung memberikannya minum sedikit demi sedikit, kata dokter dia tidak boleh minum terlalu banyak dulu. Dari raut wajahnya aku tahu kalau dia mencari ibunya. Aku tersenyum sembari mengupas buah pir yang dibelikan Lucky tadi. Sorenya adikku sudah sadar sepenuhnya, dia meminta makan dan buah. Aku menyuapinya dengan lembut. Dia tidak bertanya apapun padaku tapi sepertinya dia tahu sesuatu yang buruk terjadi.
“Mama kemana?” tuturnya akhirnya bertanya.
“Mama sedang ke Luar Negeri, tadinya mau pulang tapi ternyata pekerjaannya masih banyak. Masih agak lama katanya dia disana,” kataku berbohong.
Shafia hanya mengangguk sambil kembali melahap makanannya, dia lapar karena belum makan sejak semalam.
***
Malam hari aku pulang ke rumah dan meletakkan tasku di atas nakas, tubuhku lelah dan pikiranku melayang kemana-mana. Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya ayah dan ibuku kerjakan. Aku yang begitu ingin tahu akhirnya masuk ke kamar ibuku setelah berdebat dengan diriku sendiri, kamar orang tuaku memang sangat rapi dan harum. Ibuku orang yang suka kebersihan, dia tidak tahan jika melihat ada yang kotor. Aku berkeliling memindai seisi ruangan, lalu laci satu persatu kubuka. Perlahan namun pasti aku mulai mengetahui semuanya.
Bisnis ayahku, bisnis ibuku semua tertuang dalam dokumen-dokumen itu. Ibuku memegang aliran dana uang panas dari para investor yang dijanjikannya untuk dapat kembali dalam jumlah yang berlipat ganda. Dana itu banyak sekali, hingga milyaran, semua aliran dana itu membuatku pusing. Aku tidak mengerti, tapi aku tahu kalau itu adalah dokumen penting. Aku masukkan semua dokumen-dokumen itu ke dalam sebuah tas.
Ayahku ternyata memegang kendali atas organisasi-organisasi pengedaran narkoba. Semua data tentang barang, penyebaran dan orang-orang kunci ada di sebuah map plastik merah yang langsung kumasukkan juga ke dalam tas hitam tersebut. Sesungguhnya aku gugup, aku tidak tahu kenapa orang tuaku memiliki pekerjaan seperti itu. Jantungku mulai berdetak kencang, aku lalu melihat ke dinding atas ruangan, di sana ada sebuah lukisan lama yang ayah dan ibuku miliki. Entah kenapa aku curiga sekali dengan lukisan tersebut. Firasatku kuat sekali.
Aku lalu membuka lukisan tersebut dan ternyata benar saja, ada brankas di sana, aku terkesiap bukan main. Mencoba membuka ternyata tidak berhasil, aku tidak tahu kata sandi brankas tersebut. Aku mencoba dengan tanggal lahir ayah, ibu, aku dan Shafia tapi tidak juga terbuka. Aku berpikir dan terus berpikir, akhirnya aku memasukkan kombinasi tanggal lahir aku dan adikku dan ternyata berhasil. Mataku terbelalak saat melihat isi brankas itu.
Ada uang tunai, emas batangan dan beberapa surat berharga seperti kepemilikan tanah dan saham juga buku rekening-rekening gendut. Aku memasukkan semuanya ke dalam tas dan menaruhnya di mobil milikku. Entah apa yang kulakukan tapi yang aku tahu semua itu adalah dokumen-dokumen berharga. Bahkan mungkin lebih berharga dari nyawaku.
***
Keesokan paginya polisi kembali datang ke rumahku dan mengacak-ngacak semuanya. Entah apa yang mereka cari tapi seisi rumahku dibuat berantakan.
“Kalian cari apa?” tanyaku.
“Kamu kelas berapa? SMA? Kuliah?” tanya salah seorang polisi yang tengah berada di kamar ibuku.
“Kuliah?”
Polisi itu lalu menanyaiku tegas, “Kamu tahu orang tuamu kerja apa?”
Aku menggeleng, “Nggak.”
“Yang benar, kamu masa nggak tahu?” tanyanya mengintimidasi.
“Saya nggak tahu orang tua saya kerja apa, yang saya tahu mereka sibuk.”
Polisi itu berdengus tak percaya, “Kamu jangan bohong, kamu yang membersihkan semua itu?” dia menunjuk laci kamar ibuku.
“Nggak,” sekali lagi aku menggeleng.