Kembali ke tahun 2009, saat aku dan kawan-kawan ditangkap oleh polisi, ayahku ternyata mendengar berita tersebut dan langsung menghubungi petugas yang menangkapku agar aku segera dibebaskan. Ya, ayahku adalah seorang Brigjen Polisi yang bertugas di Jakarta. Aku memang bukan dari keluarga sembarangan, keluargaku merupakan turun temurun anggota personil kepolisian dari kakek buyut hingga ayahku. Malam itu aku benar-benar sial karena ketahuan, aku tidak enak dengan kawan-kawanku tapi urusan dengan ayahku sangat mendesak sehingga aku harus pulang dulu ke rumah.
Di rumah ayahku langsung menghajarku, dia menamparku keras hingga aku terjatuh ke lantai. Kakiku ditendang hingga aku sekatikan, ibuku di ujung pintu menangis melihatnya.
“Anak kurang ajar. Nggak tahu diri, anak nggak tahu malu.” Ucap Sastro, ayahku.
Aku hanya diam menerima pukulan demi pukulan dari ayahku. Setelahnya aku sudah pasti tidak bisa kemana-mana, aku bagai tahanan rumah. Ayahku ternyata harus membayar banyak saksi dan juga teman-teman tongkronganku untuk tidak pernah menyebut namaku lagi.
Ayahku lalu tiba-tiba datang melemparkan sebuah dokumen ke atas meja tempat aku sedang bersantai membaca buku.
“Apa ini?” kataku bingung.
“Mulai besok kamu akan latihan bersama pelatih untuk masuk ke Akademi Kepolisian. Kamu harus lolos, bagaimana pun caranya,” titah ayahku yang kutahu tidak akan bisa kutolak, tapi tetap saja.
“Aku sudah bilang aku nggak mau, aku nggak mau jadi polisi Yah. Aku mau jadi pembalap.”
“Ngomong apa sih kamu? Kuliah nggak mau, pendidikan polisi nggak mau. Maunya balapan? Yang benar saja, kamu mau jadi apa Farhan,” tuturnya memandang sebelah mata.
Aku hanya diam menatap ayahku yang terlihat begitu emosi. Ada rasa takut yang menyelimutiku saat ini.
“Ayah memaksa, kalau kamu tidak mau mengikuti pelatihan akademi polisi, ayah akan penjarakan semua teman-teman tongkrongan kamu. Akan ayah pastikan mereka dikeluarkan dari sekolah dan tidak memiliki masa depan.”
Aku berdiri menatap mata ayahku tajam, menantangnya bagai tak takut apapun, “Coba saja kalau berani,” sebelum pergi meraih jaket dan tasku.
***
Aku pergi ke tempat tongkrongan, di sana aku melihat teman-temanku yang tidak tertangkap polisi terdiam lesu. Lalu salah seorang dari mereka melihatku datang.
“Han, gimana ini? Yang lain pada ketangkep,” ujarnya.
“Gue lihat mereka digebukin, hampir mampus mereka. Oki sama Fany habis Han,” ujar temanku satu lagi.
Aku hanya diam, menatap mereka satu persatu, “Gue akan berusaha untuk membebaskan yang lain. Gue janji,” tuturku dengan hati cemas.
Aku sontak pergi ke Kantor Polisi, aku melihat Oki dan Fany dalam keadaan yang mengenaskan. Mereka sudah lemas, wajah mereka merah memar. Hatiku tertegun melihatnya, aku dengan lunglai pergi ke Ancol untuk membersihkan pikiranku. Aku berdiam menatap laut yang berombak deras.