Hari pertama jadi Manajer aku belajar banyak dari Brad, dari pengelolaan Klub, client-client penting, vendor, sampai manajemen keuangan terutama cara mencuci uang. Aku baru tahu apa yang dimaksud orang-orang itu dengan mencuci uang. Benar-benar di dunia ini tidak ada yang bersih, dunia bisnis memang kejam terutama di Indonesia ini. Semalaman juga aku mempelajari data-data Klub, Klub ini sepertinya memiliki keuntungan yang lumayan namun kurang berkembang karena Brad tidak membuka peluang para investor untuk masuk.
Dini hari saat ingin pulang, kembali Rendy datang menemuiku. Dari tadi sebenarnya ponselku berbunyi karena Rendy menghubungi tapi aku abaikan. Aku sudah ada janji dengan Taufan, dia ingin bertemu denganku lagi setelah malam itu kami berpisah.
“Mba katanya mau nemenin,” tagihnya.
“Oh iya, ngomong-ngomog kamu nggak dicariin main kesini terus Ren?”
“Nggak lah, orang tua saya sibuk jadi daripada saya di rumah nggak ngapa-ngapain, mending kesini ketemu Mba,” tuturnya.
“Kamu, nggak jatuh hati sama saya kan?”
Rendy tersenyum, “Hmm, siapa sih yang nggak jatuh hati sama Mba. Cantik, baik, ramah lagi.”
Aku tersenyum geli mendengar, “Hai, kamu sekolah dulu yang benar. Kasian orang tuamu membiayai kamu mahal-mahal ternyata kamu malah kesini,” jujur aku kasihan padanya. Dia jelas terlihat orang kaya, orang tuanya pasti menginginkannya untuk kuliah dan lulus. Tapi dia malah kemari dan mengejarku yang sama sekali tidak melihatnya sebagai seorang pria. Walau umur kami mungkin tidak terpantau jauh tapi bagiku, dia masih anak-anak.
“Tapi nggak masalah kan kalau saya mendekati Mba?”
Aku tersenyum lalu pandanganku teralihkan oleh suara seseorang yang memanggil namaku.
“Luna,” panggil Taufan saat melihatku.
Aku tersenyum dan langsung menghampirinya, namun aku masih sempat pamit pada Rendy, “Maaf ya Ren, tapi saya sudah ada janji. Duluan ya Ren,” pamitku.
Dengan jelas aku melihat Taufan dan Rendy saling memindai satu sama lain, mereka saling memberikan tatapan tajam, bagai singa yang mempertahankan teritorinya terutama Rendy. Taufan terlihat lebih santai sambil merangkulku dan berjalan keluar Klub.
***
Aku dan Taufan pergi untuk makan malam di sebuah Hotel ternama, dia mengajakku kembali bertemu mengartikan kalau dia tertarik padaku. Ini adalah kesempatan bagiku untuk bisa membuatnya jatuh cinta kepadaku sebagaimana aku sudah jatuh di pelukannya.
“Kamu sering makan di sini?” tanyaku.
“Lumayan, ini adalah salah satu Hotel yang sangat nyaman yang pernah aku datangi,” jawabnya halus.
Aku mengangguk, “Cocok sih sama kamu, nyaman.”
Taufan yang sedang menyesap winenya sontak tersedak mendengar ucapanku, “Kamu ini paling pinter ngerayu. Kamu mau aku terus terang?”
Aku mengangguk, “Apa?”
“Aku tertarik sama kamu tapi,” ucapannya terhenti.
‘Tapi?”
“Aku ini pebisnis, aku butuh sesuatu yang bisa aku dapatkan? Kamu mau investasi kan? Lalu aku dapat apa?”
“Keuntungan besar, lebih besar dari apa yang kamu bayangkan,” ucapku yang jelas membuatnya bertanya-tanya.
Aku lalu memberitahunya tentang rencana yang telah aku buat sejak pertama kali aku melihat tempat ini yang berada di Jepang, aku langsung tertarik. Aku menjelaskan dengan rinci apa yang ingin kubangun. Walau aku sangat senang berada di Klub milik Brad, tapi ambisiku akan sesuatu masih sangat berapi-api. Aku ingin memiliki usahaku sendiri. Taufan tertawa mendengar rencanaku. Dia terlihat puas dengan apa yang aku utarakan.
“Ok, akan aku tela’ah terlebih dulu tapi jujur kamu benar-benar wanita yang luar biasa.”
Aku hanya tersenyum bangga mendengar pujian dari Taufan, kami kemudian beranjak dari tempat duduk untuk melangkah pergi. Namun langkahku terhenti ketika seseorang yang kukenal menyapaku.
“Luna?” ucap seorang wanita cantik nan anggun dengan ramah.
Aku terdiam menatap wajah itu lekat-lekat, riasannya cukup bagus untuk membuatku pangling. Setelah beberapa saat, barulah aku sadar dia adalah Andin, teman SMP ku.
“Andin?” tuturku pangling.