Brad meraih berkas-berkas itu dan membacanya. Dia terkejut bukan main, seperti tersambar petir. Dengan cepat kemudian dia mengarahkan pandangannya padaku.
“Apa ini? Kok lo bisa punya semua ini?”
Aku gugup tak karuan, bingung harus berdalih apa, “Itu punya nyokap.”
Dahi Brad mengerut, “Na, ini sangat berbahaya. Kalau ada yang tahu lo punya semua dokumen ini, lo bisa jadi target.”
“Makanya gue simpan, gue nggak tahu kalau nyokap gue kerja sebagai penipu.”
“Lo lebih baik balikin ini ke nyokap lo,” tutur Brad dengan wajah serius.
“Gue bisa digorok Brad, gue udah ngabisin semua uang simpanan dia dan bokap.”
Brad memicing menatapku, “Lo gila Na, ini bisa jadi bumerang. Gue anggap gue nggak lihat ini ok. Gue nggak mau ikut campur.”
Aku menghela napas mendengar perkataan Brad, aku sebenarnya juga takut tapi aku lebih takut untuk bertemu ibuku, lebih tepatnya aku merasa bersalah. Aku memijat kepalaku setelah Brad keluar dari ruangan.
Tak lama berselang suara keributan terdengar dari luar. Aku sontak keluar melihat apa yang terjadi, ternyata ada dua lelaki yang berkelahi di depan bar membuat semuanya jatuh berantakan. Penjaga kemudian datang melerai dua orang tersebut, aku terkejut melihat ternyata yang berkelahi adalah Rendy dengan seseorang yang sedang teler. Pria teler itu sepertinya sering kesini tapi aku tidak terlalu mengenalnya.
“Kenapa kalian berantem?” tanyaku.
Rendy berdiri mengusap darah yang keluar dari bibirnya, “Nih orang brengsek, otaknya kotor,” ucap Rendy yang membuatku tidak mengerti.
Aku akhirnya membawa Rendy ke ruanganku agar kami bisa bicara empat mata, “Kamu apa-apaan sih?”
“Mba, dia itu tadi nyariin Mba. Dia bilang dia mau menghabiskan malam sama Mba, dia mau tidur sama Mba.”
Aku terdiam menghela napas, “Terus apa masalahnya? Ren, pria-pria di sini semua pikirannya kotor, nggak ada yang bersih. Kalau pikiran mereka bersih mereka pergi ke Masjid bukan ke Klub,” ucapku berusaha untuk bijak.
“Ya, tapi dia mau…. ”
“Saya bisa jaga diri saya sendiri Ren, dan saya sudah melakukan itu sejak pertama kali saya bekerja di sini. Saya tahu bagaimana menghadapi mereka, jadi kamu nggak perlu melakukannya untuk saya.”
Aku lalu melangkah duduk di meja kerjaku, Rendy masih berdiri terdiam mematung.
“Apa karena saya masih muda?” ucap Rendy tiba-tiba yang membuatku terkejut.
“Apa?”
“Karena saya masih muda jadi Mba menganggap saya seperti anak kecil padahal umur kita tidak terlampau jauh.”
Aku jujur bingung, sebenarnya apa yang dia ingin katakan, “Apa sih maksud kamu?”