KISAHKU: LUNA

Deviannistia Suyonoputri
Chapter #17

KENYATAAN PAHIT

Taufan tidak ada kabar sama sekali hingga saat ini, aku terus menerus menghubunginya tapi dia sama sekali tidak merespon, sedangkan aku fokus ingin merencanakan semuanya dengan matang. Rencanaku untuk membuat Barku sendiri sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Baru sebentar mengerjakan rancangan masa depan, ponselku berdering. Brad memberitahuku kalau Taufan meninggal. Aku terkejut bukan main, bagaimana mungkin dia bisa meninggal secepat ini sedangkan kami sedang merencanakan sesuatu.

Air mataku mengalir begitu saja, kenangan bersamanya merupakan yang terindah untukku. Segera aku bersiap ditemani Brad pergi ke pemakaman Taufan, dengan memakai kacamata dan pakaian hitam aku datang dengan lemas. Disana sudah banyak sekali orang yang mengantar kepergian pria baik tersebut. Bagiku Taufan adalah lelaki yang baik, aku tidak pernah menyesal mengenalnya. Tangisku pecah saat itu juga, Brad memelukku dan merangkulku hangat.

Saat berjalan ke mobil untuk pulang, aku seperti melihat seseorang yang kukenal, tiba-tiba saja orang tersebut menghilang. Aku merasa ada yang mengintaiku dari jauh, apa itu Rendy? Ah mungkin hanya perasaanku saja. Aku tidak menghiraukan pikiranku itu lalu pergi dari pemakaman bersama Brad. Di dalam mobil kami hening tanpa bicara hingga Brad melontarkan sebuah pertanyaan.

“Are you okay?”

“Yes,” jawabku singkat.

Brad lalu membawaku ke sebuah Kafe yang terletak di dekat Kuta, banyak wisatawan asing yang makan dan nongkrong di sana. Aku tidak tahu kenapa dia membawaku kemari tapi aku mengikuti keinginannya.

“Kita makan dulu ya supaya lo nggak sedih terus,” tuturnya.

Aku terdiam tidak selera makan, Brad lalu membawakanku sepotong kue dan minuman dingin, “Coba dulu,” ucapnya merayuku.

Aku menghela napas dan tersenyum menatapnya, aku kemudian memakan sesendok kue tersebut dan secara mengejutkan moodku berubah. Menjadi lebih baik, ternyata memakan makanan manis sangat ampuh untuk mengusir kesedihan.

“Enak,” tuturku yang membuat Brad tersenyum.

Brad tiba-tiba saja menggenggam tanganku lembut, “Makan yang banyak, masa depan lo masih panjang,” ucapnya lalu kembali menarik tangannya dari tanganku.

Brad mengaduk minumannya serius, sepertinya banyak sekali yang dia pikirkan. Tiba-tiba dia bicara padaku, “Lo habis ketemu Jamal?”

Sontak makananku kembali naik ke kerongkongan, aku tersedak, “Kok lo tahu?” ucapku kaget, lalu tiba-tiba aku mengerti sekarang, “Oh, lo sekarang memata-matai gue?”

“Luna, lo udah gue anggap seperti anak gue sendiri. Gue tahu Megi dan Karlin main di belakang, tapi lo jangan ambil kesempatan dalam kesempitan.”

Aku berdengus tak percaya, “Lo tahu, tapi lo diem aja?”

“Gue udah lama pensiun dari barang-barang haram itu. Na, gue nggak bisa kontrol semuanya. Gue sengaja tutup mata soal Megi dan Karlin karena gue pebisnis, barang itu pasti ada hampir di semua tempat hiburan malam mau lo suka atau nggak.”

“Terus kenapa gue nggak boleh dapat keuntungan juga.”

“Lo beda Na, bokap lo…,” Brad tiba-tiba menghentikan omongannya membuatku penasaran dan curiga.

“Bokap gue kenapa?” tanyaku yang tak dijawab Brad, dia membuang mukanya bingung, “Bokap kenapa Brad? Sampai saat ini gue bahkan nggak tahu kenapa dia mati, dan gue baru sadar kalau lo seharusnya tahu.”

Brad menghela napasnya dalam, “Ikut gue,” tuturnya membawaku kembali ke dalam mobil.

Kami meninggalkan makanan yang tinggal setengah dan bergegas masuk ke dalam mobil. Brad memberikanku sebuah foto dan dokumen.

“Operasi kami ketahuan polisi, ada yang ingin mengacak-acak organisasi dan Edi, sudah dipastikan akan masuk penjara sebagai kambing hitam dan semua sudah direncanakan. Tapi ternyata, Ketua Organisasi tidak ingin ada yang dipenjara karena dia takut informasi akan bocor. Gue nggak tahu detilnya tapi yang gue denger dia nyuruh orang untuk menghabisi Edi.”

Aku terdiam kaku. Rasanya sekujur tubuhku merinding, aku marah, aku kesal, “Jamal?”

Brad menangguk, wajahnya datar namun dari matanya terpancar kesedihan. Dia adalah orang yang datang ke pemakaman ayahku waktu itu.

“Siapa Ketua Organisasinya?” tanyaku dengan suara dalam.

Brad terdiam tidak berkata apapun, diam seribu bahasa.

Lihat selengkapnya