Keesokan paginya, polisi datang dan memasang garis polisi di sekitar Bar milik Luna. Semuanya heboh dan berantakan, polisi menggeledah seisi gedung untuk memeriksa barang bukti dan keterangan saksi termasuk dari Luna dan Jamal. Saat itu Luna berada di ruang interogasi sendirian, melihat sekeliling ruangan dia bergidik ngeri. Kepalanya sudah pusing tujuh keliling, dia paling malas berurusan dengan aparat penegak hukum.
Menunggu dengan cemas di ruangan serba putih yang hanya terdapat kursi dan meja itu Luna disadarkan oleh suara pintu yang terbuka. Perlahan namun pasti, langkah kaki yang terdengar seperti seorang laki-laki masuk. Mata Luna dan laki-laki itu bertemu, sungguh terkejut bukan mainnya Luna saat mengenal siapa lelaki yang sekarang duduk di hadapannya itu. Lelaki itu menatap Luna dingin dan datar, tanpa ekspresi.
“Dengan Ibu Luna Arsyla Prayoko, betul?” tanyanya dalam.
Aku masih tidak percaya, diriku sontak menatapnya dalam, seperti mimpi, “Iya betul saya Luna,” jawabku sedikit gugup.
“Bisa Ibu ceritakan kronologi kejadian dari awal hingga akhir?”
Luna menceritakan semua yang ia tahu, pikirannya campur aduk saat ini. Kalau mereka tahu bisnis apa yang dia lakukan, bisa hancur semua kerja kerasnya, jerih payah, impian dan keringat yang sudah dia keluarkan.
Pria itu tersenyum miring seakan tahu bahwa yang Luna katakan belumlah semuanya, “Mulai kapan Anda memulai bisnis ini?”
“Dua tahun lalu. Tunggu, saya kenal sama Anda, Anda Kak Farhan? Kakak kelas saya waktu SMA, ya bukan?” jawabnya dengan pertanyaan lanjutan.
Farhan tersenyum, “Iya betul, saya Farhan.”
Luna menaikkan alisnya, ternyata benar dugaannya kalau lelaki di hadapannya itu dulu adalah orang yang ia taksir.
“Kita kembali ke topik masalah,” tutur Farhan tegas, “Ini Bar apa? Kenapa Riska sampai over dosis? Anda menjual obat-obatan terlarang?”
“Saya nggak tahu,” tutur Luna padat, “Saya hanya menyewakan tempat, hiburan dan…. ”
“Wanita,” celetuk Farhan menambahkan.
“Bisa dibilang begitu, hanya sebatas itu, tidak lebih,” jawab Luna mencoba menutupi.
Farhan menghela napas dan kembali mengetik laptop yang ada di hadapannya, membuat suasana menjadi hening. Luna mengamati lelaki di hadapannya itu dengan seksama, dia tahu sejak awal dia menjatuhkan hati pada Farhan, maka dia tidak akan bisa menghapusnya.
Luna menatap menggoda sembari tersenyum, “Kak Farhan ternyata menghilang untuk jadi Polisi? Oh iya, saya dengar keluarga Kak Farhan polisi ya? Pantes,” ucap Luna yang tidak digubris oleh Farhan. Dia tetap fokus pada laptopnya.
Teman Farhan satunya lagi lalu datang membuat Luna langsung menjaga sikapnya, yang satu ini terlihat tegas dan menyeramkan.
Empat jam di interogasi, Luna akhirnya keluar dengan wajah semrawut. Dia pusing ditanya hal yang macam-macam, bahkan sampai ke kehidupan pribadinya. Untungnya dia bisa menutupi semua kegiatan ilegal yang ia lakukan, entah polisi percaya atau tidak tapi yang penting dia tidak keceplosan satu patah kata pun. Untuk saat ini status Luna masih menjadi saksi karena dia tidak berada di lokasi kejadian, dan polisi masih mengusut kejadian sebenarnya.
***
Belum sempat beristirahat Luna terkejut melihat Rendy berada di depan pagar rumahnya menunggunya dengan senyum yang sedikit menyeramkan.
Luna mengerutkan dahi keluar dari mobilnya, “Rendy? Kok kamu tahu saya tinggal di sini?” seingatnya, dia tidak memberitahu Rendy soal alamat rumah barunya ini.
Rendy tersenyum, sekarang senyumannya benar-benar menyeramkan, “Tahu dong, mau kemanapun Mba Luna pergi, saya pasti akan menemukan Mba.”
Luna terdiam menahan kesal, “Pergi dari sini, selagi saya masih memintamu dengan sopan.”