Setelah mendapatkan telepon dari Luna, Shafia langsung menghampiri Ben yang berada dalam kawalan polisi. Dia tersenyum pada anak kecil polos itu kemudian membawa Ben bersamanya. Anak sekecil itu harus menghadapi kejadian sebesar ini, dunia sungguh kejam. Sesampainya di rumah mereka bertemu dengan Shandy.
Shandy melipat tangannya dan mendesah melihat Ben, tatapan datarnya menerawang seluruh tubuh anak itu, “Kamu mirip sekali dengan Luna,” tuturnya sebelum akhirnya pergi dari ruangan itu.
***
Seminggu Ben tinggal dengan Shafia dan Shandy, dia sudah membuat ulah, dia berlarian kesana kemari dengan membawa mainannya. Rumah mereka jadi seperti kapal pecah, Ben termasuk anak yang aktif dan memang sedang senang-senangnya bermain. Semenjak dia ditinggal oleh Gia dan Luna, Ben terlihat sedikit memberontak, dia sering tidak nurut dan menolak jika dinasihati. Shafia bahkan harus membujuknya berkali-kali agar dia mau makan.
Saat Shafia sedang memainkan ponselnya, tiba-tiba Ben menghampiri dan menepuk pundaknya.
“Ada apa?” tanya Shafia.
“Ibu,” tuturnya.
“Ibu?” Shafia sedikit bingung.
Lama kelamaan mata Ben mulai berlinang, dia menangis, “Ibu…, Ibu.”
“Ibu lagi kerja Ben, nggak bisa menami Ben. Ben sama tante ya.”
Ben menggeleng, “Ibu…, Ibu,” tangisannya makin kencang, dia makin merengek membuat Shafia frustasi.
“Kenapa sih dia berisik sekali?” Shandy tiba-tiba datang dari ruang kerjanya.
“Nggak tahu, nanyain ibunya. Aku juga bingung harus apa,” tutur Shafia menutup wajahnya dengan tangan bingung, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
***
Malam harinya Brad datang ke rumah Shandy, dia ingin bicara pada mereka dan juga melihat keadaan Ben.
Brad tersenyum saat melihat Ben bermain dengan riang, dia rindu dengan bocah itu.
“Brad, apa kabar?” Shandy datang mengulurkan tangannya.
Brad tersenyum sembari menjabat tangan itu, “Baik, kamu bagaimana?”
“Baik, sudah lama ya kita tidak bertemu,” tutur Brad yang kemudian melihat Shafia datang, “Ini pasti Shafia kan?”
“Iya betul saya Shafia Om,” jawabnya ramah.
“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Shandy langsung.
“Saya akan langsung saja, apa yang akan kamu lakukan pada Luna?”
“Saya akan melakukan apa? Kamu nggak salah bertanya?” jawab Shandy dengan angkuh.
“Kamu akan membiarkan Luna membusuk di penjara?”
Mendengarnya Shandy tersenyum memutar bola matanya, dia beranjak dari sofa dan mengambil segelas minuman, “Dia bersalah Brad, apa yang bisa saya lakukan?” ucap Shandy sembari memberikan minuman pada Brad.
“Dia kan anakmu Shan, saya tahu kamu mampu untuk sekedar meringankan hukumannya.”
Shandy meneguk minumannya cepat, “Saya sudah tidak seperti dulu Brad, saya tidak punya kekuatan apa-apa.”
Brad terdiam sebentar, “Saya dengar bisnismu kembali berjalan,” sindir Brad halus.
“Berkat Luna, saya benar-benar harus memulai semuanya dari awal. Dia telah membuat semuanya berantakan.”
“Tidak bisakah kamu menyelamatkan Luna? Anak itu sudah sangat menderita Shan.”
Shandy sedikit terkejut, “Kalau begitu kenapa tidak kamu saja yang menolong Luna, kamu juga pasti masih punya kenalan kan? Seperti kamu menyelamatkannya dulu,” kini Shandy yang menyindir Brad, Shafia yang berada di sana hanya diam.
“Saya menyelamatkannya karena Edi, saya berhutang budi padanya. Keadaan Luna saat itu sangat mengkhawatirkan, dia hamil dan…. ”
“Brad,” Shandy memotong omongan lelaki di hadapannya itu, “Luna kabur membawa harta dan aset yang banyak. Dia nggak butuh ditolong Brad, dan kamu nggak ngasih tahu saya kalau Luna berada sama kamu.”
Brad menghela napasnya, “Awalnya saya nggak tahu kalau dia punya dokumen itu, dia masih muda dan butuh bantuan. Saya membantunya dan dia memang anak yang berbakat.”
“Berbakat nipu.”
“Dia mirip denganmu,” serangan Brad sontak menghantam lubuk Shandy.